Selasa, 23 Oktober 2012

Apakah yang salah? rasaku? (1)


Igee masih terus menghentakkan kedua kakinya secara bergantian sambil memukul-mukul meja belajar didepannya. Ia sudah tak peduli, ketika barang-barang diatas mejanya itu mulai berjatuhan dan berserakan dilantai.
            “Iiiih, ini guenya yang kege-eran atau emang lo suka sama gue sih?” teriaknya dengan cukup kencang.
            “Igii, berisik tau gak sih!” protes kakaknya, Mia, yang merasa acara tidur siangnya terganggu oleh teriakkan adiknya.
            Igee hanya mendelik sembari memanyunkan bibir mungilnya. Sesaat ia terdiam kembali, tertunduk dan kesal. Dia tengah bingung tentang perasaannya. Dan, dia pikir bukan perasaannya saja, ia tengah mempertanyakan seseorang yang ia ingin tanyakan perasaanya juga.

***
            ‘Tuh, Gi, si Jildan kayak yang merhatiin kamu gitu.’ Seru Rizka pelan sambil mencubit-cubit lengan Igee.
            Igee hanya tertunduk dan sesekali menyuruh Rizka –sahabatnya- untuk  bersikap biasa saja. Kini, jantungnya berdegup dengan kencang. Sebenarnya ia ingin sekali memergoki Jildan dengan kedua matanya. Namun, ia merasa malu jika Jildan benar-benar sedang memperhatikannya. Anehnya, seharusnya Jildanlah yang merasa malu jika ia dipergoki, tapi, disini Igee lah yang entah kenapa tidak berani bila ia akan bertatapan nantinya.
            Igee memasukan buku-buku pelajaran kedalam tasnya. Pelajaran terakhir telah usai, dan kini ia akan bersiap-siap untuk pulang. Ia melirik sebentar kebelakang, melihat atau lebih tepatnya mencuri pandang kearah Jildan. Pria itu tengah tertawa bersama teman sebangkunya, Awan.
            Igee menghela napas, batinnya meracau, sampai kapan perasaannya ini ia pendam? Sampai kapan, perasaannya ini hanya untuk dirinya sendiri?
Igee melangkah dengan lunglai, pertama karena memikirkan Jildan, dan yang kedua karena tas yang ia bawa memang cukup berat.
            Saat ia tiba digerbang sekolah, ia menengadah kearah langit. Rintikkan hujan terasa menetes mengenai wajahnya, ia lalu berlari kearah kanan gerbang menuju halte dengan cepat. Lalu, beberapa detik kemudian hujan pun mulai turun dengan deras. Mukanya semakin kusut saja, mengingat jarak tempuh menuju rumahnya lumayan jauh. Sekarang jam sudah menunjukan 16.00, dan Bus tujuannya belum juga melewati jalanan itu.
            Ia menatap rintikkan hujan itu sampai akhirnya mulai mereda. Lalu, ia berpikir untuk berjalan beberapa meter kedepan mencari bus tujuannya. Ia berdiri dan disaat ia melihat kearah gerbang sekolah, ia terkejut dan jantungnya mulai berdegup lagi. Mulutnya tiba-tiba terbuka, dan dengan refleks ia berteriak,
            “Jildaaan!”
            Jildan melihat kearahnya, lalu motor itupun mulai melaju mendekati Igee. Detakan jantung Igee pun mulai tak menentu,
            “Gi? Kamu  yang manggil aku?” tanya Jildan yang kini tepat berada didepannya.
            “Eh,” jawab Igee kebingungan.
            “Mau apa cepetan, ujannya udah mau deres lagi nih,” serunya pada Igee sambil melihat-lihat kearah langit.
            Igee tak menjawab, sebenarnya kini ia tengah terpana dan asyik melihat senti demi senti lekukan wajah Jildan. Putih, bulu matanya lentik dan dibalut dengan mata cokelat yang indah.
            “Igeee!” ucap Jildan sambil menepuk-nepukan kedua tangannya didepan wajah Igee.
            “Ah, iya sok aja.” Kata Igee asal.
            Kini Jildan turun dari motornya, mendekati Igee yang menurutnya, pasti Igee tengah terlamun dalam imajinasinya.
            “Yuk, mau nebeng pulang kan?” ajak Jildan tiba-tiba.
            Seketika Igee tersadar. Bukan hanya karena ia diajak untuk pulang bersamanya, akan tetapi saat tangannya ditarik menuju motornya, rasanya seperti tersengat oleh Listrik!
            Beberapa menit kemudian, Igee sudah berada dibelakang jok motor Jildan. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini, dan tiba-tiba terlintas dibenaknya. Hal paling gila menurutnya,
            Ah, aku udah gakuat, oke kalo udah nyampe kita selesain semuanya, batin Igee.
            Dalam perjalanan menuju rumah Igee, ternyata hujan kembali turun dengan deras dan jarak menuju rumah Igee masih jauh. Maka, Jildan memutuskan untuk berhenti di sebuah warung pinggir jalan karena melihat kondisi jalanan juga yang licin.
            Warung tempat mereka berhenti rupanya hanya bekas warung. Terlihat dari luarnya dengan kondisi kayu-kayu yang menjadi penutup warung itu sudah agak lapuk dan lantainya pun kotor.
            Igee dan Jildan hanya saling diam, terlebih kini mereka memang sudah basah kuyup dan tak tau bahan apa yang cocok untuk diobrolkan ditengah-tengah hujan deras. Kini, Igee berpikir kembali tentang rencananya itu. Tapi, dia merasa takut apalagi saat ini jantungnya kembali berdetak dengan kencang, membuat ia grogi. Igee melirik sesaat kearah Jildan yang berada dipinggir sebelah kanannya. Lalu ia menggeser duduknya perlahan, dan mulailah ia menimang-nimang kembali. Well,
            “Dan, aku kesiksa.” Ucap Igee mantap sembari menatap kearah Jildan.
            “Kesiksa kenapa?” tanya Jildan yang otaknya merasa bingung dengan kalimat ‘kesiksa’.
            Tangan Igee pun mulai mendingin, gawaaat, pikirnya.
            “Eh, maaf nih pake jaket aku, itu kamu tuh,” kata Jildan gugup sembari memberikan jaketnya pada Igee.
            Igee merasa bingung, lantas ia melihat dirinya, dan ya ampun, tubuhnya sudah basah kuyup dan parahnya itu membuat kaos dalamnya terlihat walau agak samar. Igee pun segera menerima jaket Jildan dan memakainya.
            Paraaaah sumpah!” rutuk Igee dalam hati
           
to be continue.. next

Tidak ada komentar: