Rumah untuk Danar as separuh aku!
Angin sore membelai tubuhku pelan. Akupun segera terbangun dari tidurku. Sembari mengumpulkan nyawa, aku bangun lalu meraih BB yang sedari tadi tampak berkedip-kedip. Aku melihat layar, mula-mula mataku menyipit lalu sedetik kemudian aku tercekat. Danar.
Angin sore membelai tubuhku pelan. Akupun segera terbangun dari tidurku. Sembari mengumpulkan nyawa, aku bangun lalu meraih BB yang sedari tadi tampak berkedip-kedip. Aku melihat layar, mula-mula mataku menyipit lalu sedetik kemudian aku tercekat. Danar.
Waktu sudah menunjukkan 4.40 pm.
Aku segera menyambar kaos Damor berwarna putih tulang serta celana jeans
berwarna coklat -yang tergantung- dengan secepat kilat. Akupun cukup
menggerai rambut hitamku walau sebenarnya agak kusut. Dan, 3 menit kemudian aku
sudah siap berangkat menemui Danar di Taman. Kulihat jam pada layar BB-ku,
sudah 40 menit aku membiarkan Danar diam disana, kuharap ia tidak akan marah
padaku. Tampaknya ia juga khawatir, apalagi saat aku melihat 3 SMS, 3 MC dan 5
PING darinya sejak 03.45 pm. Akupun membalas BMnya terlebih dahulu, agar ia
bisa menunggu lebih lama.
Sepulang sekolah tadi, Danar
memintaku untuk bertemu dengannya sore ini di tempat biasa. Entah untuk apa,
namun aku segera menyanggupinya. Mungkin, mengingat akhir-akhir ini kita sudah
jarang bertemu dan mengobrol. Bukan apa-apa, aku tau saat ini Danar memang
tengah disibukkan dalam menyiapkan segala kegiatan untuk Pekan Seni 2 bulan
mendatang. Jadi, mau tidak mau sebagai pacar yang baik aku harus rela, bila
waktuku terbagi oleh kesibukannya.
Jarak rumahku menuju taman
tidaklah seberapa, dengan waktu 3 menit akupun sudah sampai ditaman yang
dipenuhi oleh bunga krisan berwarna-warni. Kini aku tepat 30 langkah dari
posisinya duduk, dan saat ini kulihat ia yang tengah menunduk memainkan BB nya.
Sadar akan kehadiranku, Danar pun bangkit dari bangku taman itu.
“Hey, Ra!” pemilik suara bass itu
menyapaku.
“Hey..” Awalnya, aku merasa aneh.
Sejak kapan dia mulai memanggilku dengan kata ‘Ra’ lagi? Biasanya dia selalu
memanggilku dengan kata ‘Sayang’. Dan, apa maksudnya itu? Dia memakai kaos
berwarna abu-abu. Damn! akukan sudah bilang padanya, bahwa aku tak suka dengan
warna itu. Dan selama ini, biasanya dia tidak pernah mengenakan kaos berwarna
abu-abu dihadapanku.
“..Oh iya, kita mau ngapain, sih?
Eh tapi, ini udah sore banget ya? Maaf ya, Yaang,” ucapku dengan muka kecewa
sekaligus masih kesal dengan apa yang ia kenakan saat ini.
Kini ia tersenyum sambil
menggangguk tanda ia paham. Aku sangat menyukai sikapnya dalam mengertikan aku.
Aku merasa selalu dimanja olehnya. Walau kadang ia selalu membuatku kesal. Saat
kulihat kembali wajahnya, tiba-tiba senyumnya hilang, dan suasana diganti
dengan kebisuan. Aku terdiam dan sesekali melihat sekeliling taman agar aku tak
merasa tegang. Tak ada siapa-siapa disini, kurasa hanya aku dan Danar. Entah
mengapa, aku merasa tegang untuk diam disisinya. Padahal, ini bukan pertama
kali untukku duduk berdekatan dengannya. Apa mungkin karena intensitas waktu
untuk mengobrol yang jarang kita lakukan dan ini membuat kita sama-sama bingung
untuk berbicara? Entahlah.
“Ra, aku..” Kalimat Danar
menggantung. Aku langsung mengalihkan pandanganku. Kini aku menatap lurus mata
cokelatnya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Aku pengen putus, Ra.” kata
Danar pelan dan hati-hati.
Aku terhenyak, jantungku refleks
berdebar dengan kencang dan tiba-tiba rasa sakit menjalar mengisi ruang hatiku.
Aku hanya diam, mencoba menahan tetesan air yang akan keluar di pelupuk mata,
walaupun sebenarnya hatikku sudah meluap dengan emosi. Semuanya seakan ingin
kupertanyakan padanya. Semula kupikir, mungkin dia hanya menjahiliku. Tapi
kemudian, aku menyadarinya melewati tatapan matanya.
“Ra, gimana?” Pertanyaannya
membuat semua yang ada dalam benakku menghilang.
‘Apanya yang
gimana? dasar gak punya otak emang!’ batinku mulai meracau. Kini sel saraf menginstruksikan
agar aku menanyakan alasan kepadanya, namun lidah ini terasa kelu. Kata-kata
yang hendak aku tanyakan seolah hanya sampai di pangkal tenggorokan. Dan, tak
bisa terucap. Tapi, layaknya partikel-partikel yang sedang dipanaskan.
Kata-kata itupun semakin mendesak mulutku untuk terbuka.
“Kenapa..” kataku mulai berkata dengan pelan. “..Kenapa, Nar? Alasan apa yang
bisa membuat otakku bisa mengerti atas kejadian ini?” aku menatap sendu
kearahnya.
“Aku rasa.. kita udah ga cocok. Bukan, maaf maksudnya bukan kita. Tapi, aku.”
jawabnya kemudian.
Aku
diam sejenak. Merenungkan kata-katanya. “Ga
cocok?”. Memang apa yang sudah berubah ditubuhku? Apa yang salah dengan
sikapku? Akupun menyerah.
“Oh, yaudah kita udahan.” kataku
melawan hati.
“Yaudah, aku pergi dulu ya”
ucapnya sembari melempar senyum khas berlesung pipit, kesukaanku.
Aku meringis, untuk apa dia masih tersenyum seperti itu padaku.
Lalu kubalas senyum itu dengan
berkata, “Iya.”
Dan sesederhana itu kita
berpisah. Kini aku hanya tersenyum kecut. Kulihat rambut acak namun rapi berwarna
coklat dan punggungnya yang semakin menjauh dari pandanganku. Apa yang terjadi
tadi? Apa dia cuma bercanda? Tapi, apanya yang ‘cuma’ ? Jelas-jelas tatapan
itu, tatapan Danar kala bermain di lapang melawan tim basket lain. Tatapan
tegas, serius dan menyakitkan.
Hatiku meringis lagi, pilu
rasanya. Semudah itukah dia memutuskanku? Dan, kenapa hanya itu alasan nya?
Otakku masih tidak bisa menerima bahwa kenyataannya kini aku telah sendiri.
Akhirnya tangis inipun tumpah. Rasa sakit mengingat awal kebersamaan kami
hingga tadi, semakin membuat tangisku kencang.
‘Ya Allah, Apa
salah aku? Apa karena aku posesif? Apa karena aku egois?’ Beribu tanya
kini berada dibenakku. Aku masih terdiam sambil terus menangisinya. ‘Ya
Allah, bantu aku berdiri tanpanya. Kumohon.’
Aku mengusap bekas tetesan air
mataku. Aku bangkit, lalu berjalan dengan agak lunglai. Tampaknya
otakku sudah kacau. Setelah Danar pergi, aku menangis sejadi-jadinya di
taman. Aku bahkan sudah tak peduli jika ada orang yang mennganggapku gila. Saat
ini, aku hanya butuh melegakan perasaanku yang tertahan sejak tadi. Sejak Danar
memutuskanku.
***
Sebelum matahari
siap digantikan oleh bulan, aku telah sampai di beranda rumah bercat merah
tosca. Ya, aku telah sampai di depan rumahku. Kubuka daun pintu dengan malas.
Lalu dengan setengah berlari, aku melangkah menuju kamar. Saat ini, aku mencoba
mencari tempat aman dan nyaman untuk menenangkan hati. Tadi, kudapati Bunda
sedang menonton tv dan ia sempat melihat kearahku. Ia tampak kebingungan dan
khawatir, tapi ia juga tau, kini aku perlu menenangkan hatiku dulu untuk bisa
menjelaskan nanti padanya.
Setelah mengunci pintu kamar, aku
menjatuhkan badanku ke kasur. Berat. Bahkan aku tak peduli jika kini tubuhku
bau karena belum mandi. Saat ini aku masih tak mengerti kejadian tadi sore. Tanpa
disadari pandanganku mulai memburam dengan genangan air mata –lagi-, tapi tak
sekencang tadi, karena aku takut Bunda akan mencemaskanku dan memburuku dengan
beribu pertanyaannya.
Aku terdiam lalu mulai
mengingat-ngingat lagi. Apa masalah terakhir yang dihadapi kami, apa yang
berbeda dan kapan itu terjadi. Aku menerka-nerka. Tapi, hal yang membuat
pikiranku gusar adalah mengingat warna baju Abu itu. Dengan kejadian ini, aku
semakin sebal dengan warna Abu. Aku mulai pasrah. Kepalaku kini terasa
berdenyut. Rasanya pusing sekali. Dan tanpa sadar aku sudah terlelap dalam
tangisku.
***
Pagi ini tak seperti
biasanya, aku bangun subuh sekali. 4.30 am. Aku bangun dan menatap sebentar
pantulan diriku di cermin. Kusut dan menyedihkan. Aku teringat lagi kejadian
kemarin dan menangis lagi. Ah, Betapa lemahnya aku! Tak bisakah aku bersikap
tegar. ‘Ini bukan akhir rasti! Ingat ini bukan akhir.’
Entah mengapa aku beranjak dan
bergegas ke kamar mandi. Lalu aku mengambil air wudhu dan menjalankan ibadah
wajib ku sebagai seorang muslim. Kuraih mukena yang selama ini hanya tersimpan
rapi di lemari. Aku benar-benar merasa malu. Aku malu untuk berkomunikasi
denganNya lagi setelah selama ini aku melupakanNya.
‘Maha Suci Allah. Maafkan aku
telah melupakan engkau ya Allah. Sebagai tempatku untuk mencurahkan
segalanya.’ Aku menangis lagi, aku merasa tak kuat bila mengingat Danar dan
kejadian kemarin sore.
‘Kuatkan aku ya
Allah. Aku tau semua ini dari engkau, jadikan aku manusia yang pandai bersyukur
atas semua kejadian ini Ya Allah. Aku yakin, selalu ada hikmah dibalik sebuah
kesakitan.’
***
Pagi ini, aku belum bertemu
dengan Danar. Kuharap tidak. Namun itu tidaklah mungkin. Karena Danar sekelas
denganku. Kini, aku sangat menyesali salah satu kesamaanku dengannya. Aku masih
terdiam dibangku. Sembari menunggu kedatangan kedua sahabatku, Ninda dan Adit,
akupun mengambil secarik kertas beserta ballpoint dari dalam tas. Lalu,
setelahnya aku mulai mencorat coret kertas kosong itu dengan geram. Begitulah
kebiasaanku, bila kesal lebih baik meluapkannya pada kertas tak berdosa ini.
Beberapa menit kemudian Danar
datang. Aku sempat meliriknya. Ternyata dia datang bersama sahabatku, Adit.
Kulihat sekilas diwajahnya tak ada rasa kecewa. Aku mengigit bibirku. Mungkin
dia tidak merasa mengalami kejadian kemarin sore. Mungkin juga yang kemarin itu
bukanlah Danar. Alah, hayalanku ini terlalu menyakitkan.
Aku tertegun melihat
coretan-coretan dikertas. Mungkin saat ini hatiku seperti itu. Tak tentu bentuk
isinya. Tak tentu garis akhirnya dimana, dan tak tentu akan menjadi apa. Amat kacau
balau.
Tak lama, Nindya datang dan
langsung menghampiriku bersama Adit. Aku menduga-duga pasti mereka sudah tahu
kabar hubunganku, apalagi melihat sosok Danar disekolah. Secara, ia termasuk
anggota OSIS dan seorang yang sering menyumbangkan 3 point nya dalam setiap
laga basket. Dan dugaan ku amat tepat, ternyata mereka sudah tau tentang kabar
aku dan Danar putus dari Calista, si pengumpul gosip.
Akupun yang saat ini sedang
labil, malah menangis lagi, tapi aku mencoba tak terlalu keras. Karena aku
takut Danar mengetahuinya. Adit bertanya padaku mengenai kenapa Danar
memutuskanku. Aku segera ingin berteriak, “Aku tak tahu, Sungguh aku tak tahu.’
Nindya memelukku dengan erat. Kini ia tahu, aku yang biasa energic
ternyata tak sekuat luarnya. Dan aku rasa, semua wanita akan seperti itu.
Terlebih, bila ia diputuskan oleh laki-laki yang ia sayangi. Walaupun ia dan
Danar baru menginjak 1 tahun 2 hari.
Beberapa menit kemudian, bel
berbunyi. Aku harus mulai fokus, tapi pikiranku masih tetap saja tersita dengan
bayangan kejadian kemarin. Sepanjang pelajaran dari jam pertama sampai terakhir
aku benar-benar kehilangan konsentrasi. Kepalaku terasa pening, rupanya aku
sempat tertidur dikelas dan tak lama kemudian Nindya membawaku ke UKS. Kini,
Danar telah sukses membuatku sakit luar dan dalam.
***
Ya, Danar memang telah sukses
membuatku sakit luar dan dalam. Saat ini, tak hanya hatiku yang sakit. Rupanya
aku demam tinggi. Bunda kaget luar biasa, apalagi melihat anaknya yang biasa
energic dan ceria menjadi down begini. Dan, Bundapun menagih tatapan kemarin
dengan bertanya padaku.
“Rasti, bunda boleh menanyakan
sesuatu sama kamu?” Tanya bunda hati-hati sembari tetap mengelus keningku.
“Ya Bunda, mau nanya apa?”
jawabku dengan suara yang memang agak parau.
“Kemarin malem, kamu kenapa
langsung ke kamar gitu? Apa ada masalah?”
Aku menghela napas sejenak, tanpa
perintah dari otakku air mata ini mulai menetes. Bunda melihat cemas kearahku.
Tatapannya seakan memaksa untukku membuka segala kerisauan yang tengah aku
hadapi.
“Apa itu karena Nindya? Atau
tentang hubunganmu dengan Danar?” Tanya bunda lagi.
Aku terkesiap, mendengar namanya
jantungku berdebar kencang. Juga otot otakku yang semakin berdenyut membuatku
agak pusing kembali. Aku memejamkan mata sejenak, kurasa Bunda saat ini bisa
membantu menenangkan hatiku.
“Danar, Bun.. Danar telah memutuskanku,
Bunda.” Aku memeluk tubuh Bunda dengan erat. Aku tenggelam dipelukan Bunda. Ia
pun membelai rambutku. Dia meamng sudah tau, bahwa Aku dan Danar telah menjalin
hubungan lebih dari teman sejak SMA kelas 1. Bunda yang memang telah
mencurigaiku saat aku pulang dari taman, seperti biasa menyerbu dengan seribu
pertanyaan. Dan aku hanya menjawab dengan 1 kalimat. Aku mencintai Danar, Bun.
“Rasti, udahlah. Untuk apa kamu
menggalaukan lelaki yang telah nyakitin perasaan kamu? Apa dia pantes dapet
perhatian dari kamu? Apa kamu ga sayang sama air mata kamu yang terbuang
sia-sia untuk dia? Rasti, Bunda yakin, kalo dia memang mencintai kamu dia ga
akan menyakiti kamu. Menyia-nyiakan rasa sayang kamu.”
Aku tertegun mendengar nasehat
Bunda. Bunda benar. Tapi, rasa kehilangan ini belum juga pudar. Aku masih butuh
banyak waktu. Waktuku untuk melupakannya. Waktu untuk hatiku beradaptasi tanpa
mendapat senyum, candaan, dan kebiasaan-kebiasaan manis dan menyebalkan
darinya. Aku tak tau nanti, apakah aku bisa?
***
Keesokan harinya, setelah sehari
aku mengalami demam –ya, bagiku sakit cukup untuk sehari- aku mulai berangkat
kesekolah lagi. Sebelum kesekolah, aku melihat pantulan seseorang di cermin.
Itu, apakah itu aku? Mata yang agak merah dan sembab. Serta bibir kering dan
rambut yang belum kusisir. Mana bisa aku kesekolah begini? Lalu, akupun mulai
mengambil lipbalm dan mengolesnya di bibir. Rambut hitam lurusku cepat-cepat
kusisir. Dan, tak lupa aku menggunakan sedikit wewangian beraroma cherry blossom. Dalam 5 menit aku sudah tampak
fresh. Syukurlah, kuharap Nindya tak melihat mata sembab ini juga.
mencoba terlihat riang gembira lagi, padahal
keadaanku memang belum cukup membaik.
Dikelas aku dikagetkan oleh
Nindya dan Adit yang berada di balik pintu. Nindya langsung berhambur
memelukku, tentu Adit hanya melihat kami dengan wajah mupeng nya. Nindya bilang
maaf padaku karena ia tidak bisa menengokku kemarin.
***
Dari kejauhan kulihat Nindya yang
berlari tunggang langgang menghampiriku juga Adit. Aku terkekeh melihatnya yang
tampak kelelahan. Semula raut wajah Nindya kesal, namun setelah ia tau tujuan
awal ia berlari, raut wajahmu kembali berubah serius. Kini Nindya mencoba
berbicara walaupun napasnya tersengal-sengal.
“Ra, parah banget ini mah
hoh.. hoh, Ra hoh..” Tangan Nindya menepuk-nepuk meja dihadapannya, aku tau.
Ini tanda ia sedang panik. Tapi, panik untuk apa?
“Apanya yang parah?” tanyaku
kebingungan.
“Eh elu nin, nama Rasti malah
jadi rahoh” kata Adit yang langsung diam setelah ku pelototi. Aku makin
penasaran.
“Sekarang..” Nindya tampak
menelan ludahnya.
“Apa Nindya? cepet!” perintahku.
“Danar, Ra. Danar mau nembak si
Gina.”
Jadi? Apa Danar memutuskanku
karna Gina? Kenapa harus hari ini? Kenapa tidak kemarin saat aku sakit atau
saat aku sudah tak menayanginya lagi. Apa Danar sudah tak memiliki hati? Berita
ini begitu cepat menyebar di seantero sekolah. Aku tak berani melihat Danar
menyatakan perasaannya pada Gina. Aku takut, aku kini sedang terlalu lemah.
Beberapa hari setelah Danar dan
Gina resmi berpacaran, menurut berita dari Nindya mereka jadi lebih sering
mempertonkan kemesraannya. Aku tak kuasa mendengar segala berita itu, akupun
menitikan air mata lagi. Aku mencoba tersenyum saat melihat kemesraan
mereka. Tersenyum diatas tangis. Dapatkah aku lebih tegar kalau suatu
saat aku harus melihatnya secara langsung?
Akupun sempat berpikir dengan
tololnya, bahwa Danar dan Gina melakukan semua itu hanya bercanda. Kupikir,
mungkin Gina juga ingin balas dendam kepadaku dan Danar hanya ingin membuat ku
cemburu. Jujur, kini aku cemburu. Bahkan, lebih dari itu, aku ingin untuk balas
dendam bahwa akupun bisa seperti itu padanya. Tetapi, rasa ini. Rasa sayang ini
terlalu besar dan sudah amat tebal. Sudah terlalu sulit untuk dirobohkan,
bahkan olehku sendiri.
“Ah, Danaaar! Apa bagimu mudah
merelakan 1 tahun kenangan diantara cinta sementara ?”
Aku tak tau bagaimana lelaki
melakukan hal ini. Semudah itukah? Tak sempatkah mereka berfikir akan hati mana
yang lebih tersakiti? Apa karena sifat lelaki yang ingin berpetualang merasakan
cinta dilain hati perempuannya? Ya, apa boleh buat. Takkan aku menganggap ini
keputusan danar semata. Tapi ini adalah sesuatu dariNya, mungkin Dia terlalu
sayang padaku.
Tapi dapatkah aku selalu sesabar ini?
***
Aku sebenarnya enggan untuk
melihat pertandingan ini. Aku merasa hatiku tersayat sangat tipis, namun sering
dan juga terkelupas. Ini karena, hal-hal yang kulakukan dulu bersama Danar
masih terus aku lakukan. Dan Danarpun menerapkan semua hal yang aku dan dia kepada
Gina.
Aku menatap Gina yang sekarang
menggantikan posisiku didekat Danar. Ia tampak mengobrol dengan asyik dan
selalu diiringi dengan derai tawa. Aku benar-benar rindu. Aku merindukan
candaanya. Aku tak ingat, kapan ia membuatku tertawa lagi?
Kulihat barisan penonton. Ah
seperti biasa, fans-fans Danar yang baru memakai baju putih abu itu terus
menyemangati menyebut namanya dengan riang walau mereka tau Danar sudah
dimiliki Gina. Aku dulu sempat cemburu dan kesal dibuat mereka. Ulah mereka
yang membuat aku was-was. Apalagi banyak diantara mereka yang memang cantik.
***
“Dasar maru lo! Gue pikir kita
sahabat. Tapi apa?” Ucap Gina sembari berteriak didepan bangkuku. Kini, seisi
kelas tampak memperhatikan Gina dan Aku. Ada juga diantara mereka yang keluar
kelas.
“Maksud kamu apaan, Na?” tanyaku
dengan tatapan heran. Sungguh, aku benar-benar merasa aneh dan ketakutan
dibentak olehnya.
“Gak usah belaga lugu lagi
dihadapan gue. Lo jadian kan sama Aris?”
“Ada apaan sih ini? Kenapa sih,
Na?” tanya Nindya yang baru datang ke kelas.
“Nih, sahabat lo udah makan bekas
sahabatnya sendiri, gatau malu emang.” Celanya padaku. Aku hanya diam,
sebenarnya aku sudah tak tahan. Aku ingin menangis sejadi-jadinya saat ini.
Tapi sekuat tenaga aku mencoba agar tak bobol.
“Aris? Rasti ga ada hubungan
apapun ko sama Aris. Percaya deh sama aku, Na.” Nindya mencoba meyakinkan Gina,
namun itu sia-sia. Kurasa dia sudah mempercayai berita dari si penggila gossip
itu. Sampai-sampai ia tak mempercayaiku, tak mempercayai sahabatnya sendiri.
“Lalu, apa maksudnya -dibonceng
mesra- itu? Apa? Katanya lo juga sependapat bahwa Aris. Cowo yang udah nyakitin
hati sahabatnya, ga pantes buat punya cewe lagi. Tapi apa? Lo,
emang munafik Ras!”
“Aku ga maksud buat-“ Gina segera
memotong kalimat Rasti, “Pengkhianat. Gausah munafik lo, Ras!”
Tiba-tiba, lelaki yang sedang
mereka ributkan datang ke kelas. Aris kaget saat tau Gina tengah mengecam
Rasti. Langsung saja ia menarik paksa Gina keluar ruangan. Diluar kelas Aris
langsung menghempaskan lengan Gina. Gina Nampak tak senang diperlakukan begitu.
Ia menatap sinis kearah Aris.
“Mau apaan, hah? Apa?! Ngebela
cewek baru lo ini gitu?!” Gina berkata dengan keras dan sinis. Aris nampak
kesal melihat kelakuan Gina. Ia langsung berkata to the point pada masalahnya
saat ini.
“Gin, Rasti ga salah. Dia sama
sekali ga jadian sama gue. Dia, sama sekali gasuka sama gue. Dan-” Gina sudah
tak tahan dengan alasan mereka berdua. Ia, sudah sama sekali tak percaya
siapapun salah satu dari mereka. Dan dia hanya mengucapkan, “Gue udah gapercaya
dan ga peduli !”
Gina memutar balik tubuhnya, ia
kini berjalan menuju ke dalam kelas lagi. Ia langsung terhenti di depan bangku
Rasti. Rasti dan Nindya menatapnya keheranan dan penuh tanya. Gina nampak sibuk
merogoh sesuatu disaku rok nya. Setelah ia mendapatkannya, tiba-tiba barang itu
ia lemparkan kearah Rasti. Dan, terakhir ia mendekati Rasti lalu berkata, “gue
benci banget sama lo!”
***
Kutatap kain persegi berwarna abu-abu. Ditengahnya terdapat 3 huruf yang berinisial,
RNG. Aku menghela napas. 1 tahun yang lalu, Gina melempar sapu tangan ini
kepadaku. Sapu tangan hasil kita bertiga. Aku, Nindya dan Gina. Akupun mulai
terisak. Aku rindu semua hal yang kulalui bersama Gina. Sikapnya yang sinis
namun terkesan dewasa. Kadang dia bisa membimbingku. Seolah-olah ia kakak
kandung yang selama ini aku rindukan kehadirannya.
***
Hari-hari selanjutnya,
seperti suatu ritual penting. Galau adalah kegiatan utama selain makan, sekolah
dll. Tak lupa, aku jadi sering mengecek keberadaan Danar lewat timeline nya.
Kini aku benar-benar menjadi stalker Danar. Walau sebenarnya, kadang
hatiku sakit. Melihat Danar dan Gina saling mention, dan tentu dengan emot kiss
dan love dimana-mana. benar-benar memuakan.
Malam ini aku menangis kembali,
aku sempat mengingat kisahku sekitar 1 tahun yg lalu. Sembari berkaca, kulihat
pantulan wajahku dengan rambut acak-acakan dan mata yang agak sembab. Kupeluk
guling yang selama ini menjadi teman tidurku dengan erat. Lelah. Aku lelah bila
terus-terus begini. Aku tak tau sampai kapan aku akan menggalaukannya
terus. Kapan aku bisa tanpanya, tuhan?. Sebelum aku tertidur aku sempat
menuliskan kenangan-kenanganku di notes akun facebookku.
Semoga takkan kau lupa
janjimu itu.
***
Hari ini aku kaget setengah mati.
Danar menchat ku di BBM, dan ia menanyakan apa kabarku dan pertanyaan lainnya.
Aku sempat melihat kearah bangkunya. Dan, diapun rupanya sedang menatap
kearahku. Danar yang tertangkap basah, langsung menunduk. Kurasa kini, wajahnya
memerah. Aku memang senang ia bertanya lagi padaku. Namun, aku merasa takut
terhadap perasaan ini. Perasaan nyaman diperhatikan olehnya lagi.
“Plis, Danar jangan kasih aku
harapan kosong. Apa kamu ga cukup buat aku menderita dengan rasa rindu tak
terbalas ini?”
Bulan ini benar-benar bukanlah
aku yang dulu. Kini aku sering panas, dan menangis di kamar. Nindya pun sempat
melongok ku dan berceramah ini itu.
“Please, Ras. Lo jangan sedih
aja, inget kondisi tubuh lo. Tubuh lo butuh makan, otak lo juga perlu wawasan
lagi, dan tangan kaki lo juga butuh gerak seperti lo yang dulu. Apa lo tega
ngebunuh diri lo sendiri?”
“Nin, apa aku boleh mengganggu
kehidupan mereka?” tanyaku sumbang. Nindya menatapku heran. “Maksud kamu Ras?”
“Apa aku..” aku meraih tangan
Nindya. Semula ia merasa ngeri aku menggapai tangannya. “Boleh diantara mereka
berdua?” lanjutku kemudian sembari menatap dan mencemkram tangan Nindya.
Nindya benar-benar kaget dengan
pertanyaanku barusan, terlihat dari ekspresi matanya yang terbelalak. “Kumohon
jangan, Ras.” Pintanya padaku.
“Dia ngebuat gue sakit, Nin! Lalu
kenapa gue gaboleh ngambil kebahagiaan gue dari mereka?”
“Itu gabakal jadi kebahagian buat
lo, Ras. Please, jangan dengerin hati lo kalo lagi emosi. Gunain akal sehat lo.
Pikirin apa yang akan terjadi selanjutnya kalo lo ngelakuin hal itu. Gue rasa,
lo bakal tambah sakit Ras. Biarinlah mereka mendapat kebahagiaannya. Kalo emang
dia baik buat lo, dia entar bakal nyadar dan tanpa lo minta dia bakal pulang
ketempat asalnya..." Nindya merangkulku, lalu ia berbisik di
telingaku.
“Mungkin saat ini dia lagi
merantau, Ras.” katanya pelan.
Aku menarik diriku dari pelukan
Nindya. “Tapi, Nind. Harus berapa lama rumah itu menunggu pemiliknya pulang?
Apakah sampai rumah itu rusak dan bobrok baru ia kembali?"
***
Saat ini aku tengah disibukkan
dengan persiapan menghadapi Olimpiade Sains Nasional (OSN). Aku mengikuti di
bidang Fisika. Yah, allah memberiku anugerah yang luar biasa terhadap otakku
ini. Aku sudah pernah mengikuti Olimpiade ini tahun kemarin, dan aku
berhasil memenangkannya. Dulu, Danar selalu menemaniku untuk sekadar Tanya
jawab. Aku teringat lagi, saat itu aku dan Danar berada di bawah pohon tengah
bertanya jawab, dan tiba-tiba salah seorang guru melewati kami.
“Aduh, aduh, awas itu rumus pada
terbang.” Kata seorang wanita berusia 45 tahunan itu pada kami. Bu Ida namanya.
Seketika kamipun tertawa bersama.
Ya, hubungan kami memang luar biasa indah bagiku. Tentu bagi Danar juga-dulu-.
Aku berhasil mendapatkan juara satu di tingkat kabupaten dan juara 3 di tingkat
provinsi. Hebat? ah, kurasa biasa saja.
“Aku harus melupakannya dulu.
Inget Ra, masa depanmu bisa rusak kalo kamu galauin dia terus. Kamu mesti
tunjukkin bahwa dia bukan pengatur hidup kamu!” tekadku. Hari ini cuaca lumayan
bersahabat, tapi tampaknya hatiku masih saja mendung. Kuhirup sejuknya udara
pagi yang -sangat- menyegarkan tubuhku. Aku tersenyum saat melewati taman
sejarah ini. Sejenak kuhentikan langkahku. Kuingat kembali kejadian yang lalu.
“Kurang lebih 1 tahun yang lalu, dia menyatakannya padaku dan dengan malu-malu
aku menerimanya begitu saja”. Aku tersenyum geli,
“Rasti”
“Iya?”
“Mm, mau ga?”
“Apa?”
“Jadi pa-a,
pa..?”
“Ha? Apaan?”
“Eh mm, jadi
pacar gue”
“Oh…”
“Gimana, mau
ya?”
“Iya mau”
“Serius?”
“Iya bawel”
Aku kembali tersenyum geli dan
segera melanjutkan langkahku.
“Hmm, kayaknya aku udah bisa
merelakannya sedikit demi sedikit." batinku dan tak kusadari senyum telah
mengembang menghias wajah.
***
Saat akan memasuki kelas, aku
sempat melihat Gina yang sedari tadi memperhatikanku.
“Aneh” kataku dalam hati.
Bel istirahatpun berbunyi, entah
untuk apa Gina tiba-tiba ada didepan kelasku. Ups, aku lupa. Bukan kelasku
juga, kelas pacarnya!
“Rasti!” panggil seseorang
padaku. Aku mengenal suara ini. Terlebih suara ini sudah kukenal saat umurku
masih 8 tahun. Tak ada yang berubah. Dan, saat aku memutar tubuhku, jantungku
mencelos. Benar-benar tepat dugaanku.
***
Aku celingak celinguk sendiri.
Eh, yang namanya Rasti disekolah inikan cuma aku. Sebenarnya aku kaget sekali, untuk
apa ia menyapaku? Seketika aku merasakan badfeeling.
“Eh, ke aku ya?” kataku mencoba
ramah padanya.
“Iya, ikut gue yuk!” jelasnya
yang langsung menarik aku tanpa permisi. Akupun memberi isyarat pada Nindya
-yang ternyata melihatku dengan kaget-, bahwa aku akan segera menyusulnya ke
kantin.
Aku tak tau apa maksud dia
menarikku seperti ini, dan akhirnya di salah satu ruangan dia melepaskan
tangannya..
“Gue mau nanya, apa maksud lo
ngumbar-ngumbar kisah lo yang dulu sama Danar?” tanya Gina yang tothepoint
padaku.
Ah, aku benar-benar kaget
setengah mati. Untuk itu rupanya. Aku masih bersyukur, kuharap ia tak tau bahwa
Danar saat ini sering BMan denganku. “Oh, itu. Maaf aku nyadar, aku salah
ngumbar-ngumbar kenangan aku yang dulu sama Danar. Tapi aku cuma saran aja,
kalo aku jadi kamu, itu gabakal jadi masalah ko, kalo kamu percaya sama cowo
kamu!”
Dia terlihat geram, saat ia akan
berkata aku segera memotongnya, “Lagi pula sekarang aku gabakal ngelakuin hal
bodoh itu lagi. Cape! Dan asal kamu tau na, aku berhak mengingatnya karena
Danar ga ngelarang aku untuk ngingetnya” kataku mencoba menarik otot pipi dan
tersenyum sinis.
“Tapi gue yang sekarang ngelarang
lo!”
“Kenapa? Takut Danar ke aku
lagi gitu? Apa kamu ga cukup puas dengan adanya Danar disisi kamu? Ga cukup
buat kamu balas dendam sama apa yang lo anggap salah satu tahun yang lalu? Apa
kamu ga cukup sekarang buat aku kehilangan Danar bahkan hidup aku?” kataku
dengan setengah berteriak. Seperti bom, kini hatiku seperti telah meledak!
Bahkan kata-kata ku sudah bukan mencerminkan aku sendiri. Dasar Rasti bodoh!.
Ruangan tampak hening.
Aku menghela nafas dan mulai berbicara lagi, “Ini yang terakhir, aku gabakal
nginget Danar lagi ko. Dan maaf, tadi aku gabisa ngontrol emosi aku”
Akupun bergegas keluar dari ruangan itu. Sambil terisak dan setengah berlari
aku menuju kearah toilet. Saat menuju toilet aku sempat bertemu Danar. Sekilas
kulihat dia melihatku dengan wajah bingung. Please, Danar. jangan melihatku
seperti itu. Sampainya di toilet aku tak dapat membendung hati ini yang
begitu kesal.
“Danar! kamu jahat, kamu rusak kehidupan aku. Ya allah bantu akuu! Aku
sangat lelah”
***
Hari demi hari berlalu.
Setelah kejadian itu aku jadi lebih bisa merelakannya. Walaupun rasanya sakit,
tapi berkat dorongan bunda – yang akhirnya tau-, nindya dan adit, aku jadi bisa
merasakan hidup lagi walau tanpa, Danar.
“Ya allah, terimakasih atas semua
ini. Terimakasih tlah membuatku sekuat ini. Semangat rasti! Kamu bisa kok. Ada
bunda, nindya juga adit ini kan?” ucapku dalam hati sembari tersenyum.
Selain itu, aku mencoba
menyibukkan diriku. Selain menunggu hasil OSN aku belajar membuat kue. Rainbow
cake. Kue warna-warni disetiap lapisan itu membuatku gemas ingin segera mencoba
membuatnya. Bunda sangat senang dengan aku yang kembali lagi ceria. Bunda
membantu sepenuhnya aku dalam belajar membuat rainbow cake. Aku juga sempat
terkekeh kala bunda berkata bahwa dengan membuat kue , bisa ngebuat kita tidak
terfocus pada ‘ehem’ mantan.
Tiba-tiba saat selesai membuat
kue, kali ini aku dikagetkan dengan dua pesan masuk. Yang pertama dari Nindya
dan yang kedua dari nomor yang tak aku kenal.
Sender: Nindyaa
Rasti!!! Kamu tau? Danar udah putus sama Gina !
Terus? Aku mesti bilang wow gitu? Duh Nindya! Aku ga
mau berharap apa-apa lagi.
Lalu akupun membaca pesan kedua,
Sender: 087726889xxx
Rasti, aku pengen ketemu kamu.
Kamu tau kan taman krisan yang dipertigaan.
Nah,
besok aku tunggu kamu disitu ya!
Pertamanya aku hanya
menanggapinya sebagai orang jahil. Tapi, aku teringat sesuatu. Kenapa mesti
taman itu yang orang ini inginkan? Dan tadi kata Nindya apa? Danar putus? Entah
harus bereaksi seperti apa? Senang atau sedih? Dan bingung? Ya! Aku takut, aku
akan berharap. Aku tak mau.
Aku menceritakan sms dari si pengirim tak dikenal ke
Nindya. Dan Nindya bilang,
Wah, yaudah datengin aja dulu kali. Lumayan kan,
dapet cowo baruuu
Iya kalo cowo. Nah cewe?
Ya alloh Ras, kalo ngajak ketemuan itu ya pasti cowo
lah. Masa cewek mau ketemu pake kata ‘ketemuan’? hiii, entar yang ada nyari
temen lesbian.
Okey, jadi intinya aku musti kesana nih?
Terserah elu itumah say, yang pasti liat dulu aja
kali.
Hmm, ada benernya sih. Yaudahlah, cuma ketemuan doang juga kenapa
dipusingin.
***
Keesokan harinya,
"Eh, iya dia kesanaya mau
jam berapa ya? Duh, dasar ngajak ketemuan tapi waktu ga ditentuin."
Dengan berbekal keyakinan, siang
ini aku melangkahkan kakiku ketempat bersejarah. Sejarah cintaku. Dan
sesampainya disana, aku dikagetkan dengan senyum seseorang yang aku kenal. Dia?
Pemilik senyum dengan 2 lesung pipit itu. Danar.
“Hai, Ra,” sapanya lembut.
“Hai juga.” balasku kaku dan
datar.
“Gimana kabar kamu?” tanyanya
sembari memperlihatkan kedua lesung pipit yang selama ini tak pernah aku
melihatnya sedekat ini –lagi-.
“Ya gini, masih single single
aja. Eh..” loh ko aku jadi curhat, kesannya kayak yang kasian gitu. Rasti,
please jangan nunjukin kalo kamu nervous!
Pipiku terasa menghangat. Tanpa
pikir panjang akupun segera meralatnya. “Mm, maksud aku baik, kalo kamu?”
“Baik juga,” katanya diiringin
tawa bersuara bass itu.
Duh, apa yang
musti diketawain sih.
“Oh iya, aku udah putus sama
Gina”
Hey, hey, aku
gananya loh yaaa! Terus aku harus ketawa girang gitu ngedenger kabar itu? Huh.
“Mm, udah tau ko," kataku
dengan senyum memaksa.
“Wah, tau dari mana?” Danar
pura-pura kaget. Aku selalu merasa sebal jika ia mulai begini.
“Orang tenar sih gosipnya cepet
nyebar, Nar.” kataku memperjelas.
“Wah, aku kemasuk orang tenar
sekolah nih?” tanyanya dengan bangga.
“Ya gitulah” jawabku agak malas.
Apa dia tak pernah menyadari kehadiran fans-fans nya yang kadang membuat kita
bertengkar-dulu-?
Tiba-tiba suasana jadi hening,
dan Danar berhasil memecahkan keheningan itu.
“Ra, apa kamu mau jadi pacar aku
lagi?” tanyanya tanpa ada keraguan dan kegugupan.
Aku melirik kearahnya, kulihat
dia menatapku dengan tatapan serius. Aku bingung, antara senang dan tentu kesal
mengingat kejadian dulu ia yang menyianyiakanku begitu saja.
“Ra, aku pengen kamu jawab
sekarang aja ya?” katanya kemudian.
Aku tertunduk lemas. Bila aku
menerimanya lagi, aku takut. Aku takut harapanku nanti tak seperti novel-novel
yang sering kubaca. Aku takut tuhan membuatku untuk terluka lagi. Lalu akhirnya
kecewa, dan aku takut dia menyakitiku atau bisa saja aku yang akan
menyakitinya. Namun sekali lagi, walaupun aku telah berhasil untuk
mengikhlaskannya, sampai saat ini.. aku masih menyimpan ruang untuknya
dihatiku. Ruang kecil khusus untuknya, kembali.
“Danar.. aku,” napasku agak
tertahan di kerongkongan. Bibirku mulai mengering.
“Iya?” kulihat matanya menatapku
dengan lekat. Kini ada jeda yang panjang. Aku menarik nafas lalu setelah
kesiapan itu ada, kuucapkan kata itu.
“Maaf, aku gabisa lagi nerima
kamu” ucapku dengan nada hati-hati. Aku menghembuskan napas setelahnya. Saat
ini, hatiku terasa kosong sekali sampai kedalam.
“Kenapa Ra?,” tanyanya setengah
tak percaya.
“Ya, aku masih sakit aja. Luka
ini, walaupun udah kering tapi masih ada bekasnya, Nar.”
Ingin rasanya aku menghakimi dia
atas semua ini. Tapi aku tahan, aku tak mau terlalu menyalahkan dia. Karena
entah mengapa, meskipun ia telah menyakitiku aku tak dapat menghapus rasa
sayang ini. Bodoh? Ya, aku memang bodoh. Dan aku yakin, semua orang bila sudah
dihadapakan dengan cinta akan bersikap bodoh.
“Maafin aku Ra, tapi aku janji
aku gabakal bikin kamu sakit hati lagi, kumohon kasih aku kesempatan buat nebus
semua kesalahan aku. Aku udah sadar, cuma kamu yang emang bener-bener tulus
sayang sama aku.” kini Danar menggenggam tanganku dengan erat.
Aku merasa dongkol. Kenapa kamu
baru sadar sekarang? Setelah kamu udah nyakitin aku, Nar. Apa caramu menilai
hati aku segampang itu? Akupun menatap matanya dengan penuh emosi yang
tertahan.
“Mungkin untuk lelaki lain aku
tak takut untuk patah hati, tapi untuk kamu..” aku menghela napas, “..Aku ga
mau ngulangin sakit yang kedua untuk orang yang sama. Itu sakit!”
Danar membisu. Dia melonggarkan
genggamannya, saat ini ia tampak memikirkan sesuatu. Tatapannya kosong lalu
menunduk. Kini keheningan menguasai waktu.
“Maaf,” kataku lagi. Aku
takut sekali menyakiti hatinya. Kupikir ucapanku tadi sangatlah kejam. Tetapi,
kurasa ia harus memahami itu mulai dari sekarang.
“Aku bodoh ya, sempet ngebiarin
orang yang sayang banget sama aku terluka karena aku sendiri” ucapnya getir
sembari mengelus pelan kepalaku. Aku tersenyum dan membiarkan ia untuk sekejap
mengelus kepalaku.
“Masih banyak ko yang sayang sama kamu, coba aja lihat adek kelas kita tuh.
Mereka justru berharap kamu jomblo tau,” aku tertawa pelan dan kulihat pula
senyum berlesung pipit disertai kemerahan menghias di wajah
Danar.
“Kuharap kita bisa ngambil pelajaran
dari kejadian yang lalu hingga saat ini, Nar.” kataku kemudian.
“Semoga nanti, aku bisa dapetin
cewe yang baik kayak kamu, Ras.” kata Danar sumbang. Ia melihatku dengan senyum
yang aku tau ia kecewa. Tapi, aku yakin ia akan baikan setelahnya.
“Jangan dong, kamu harusnya
nyari yang lebih baik dari aku.” Kataku mantap.
Kini mataku mulai berkaca-kaca
lagi. Danar kebingungan dan ia langsung menyeka air mataku dengan jari
tangannya dengan lembut. Aku memang menangis. Tapi sekarang beda, berbeda dari
dulu. Rasa yang aku tak dapat pahami perbedaannya. Antara senang dan sedih.
Namun, satu hal yang membuatku bahagia. Yaitu, kelegaan hati.
Aku menatapnya walau air mata ini
membuat bayangan Danar agak buram. "Danar, sebenarnya aku ingin
menerimamu lagi. Tapi, aku hanya ingin memberi pelajaran yang indah untuk kamu,
agar kamu bisa menghargai hati seseorang dikemudian hari nanti. Cinta itu bukan
permainan. Dan juga bukan rumah yang bisa seenaknya untuk kau pergi dan
kembali. Kamu harus tau, Nar. Rumah yang sudah lama ditinggali itu sudah tidak
akan mengenal siapa pemiliknya. Sekalipun kau bisa masuk untuk kembali
kedalamnya. Kau tidak akan nyaman. Karena, sebelum kau kembali, rumah itu telah
terisi oleh yang lain. Atau bisa saja, telah ambruk karena tak terurus. Dan,
dari semua kejadian ini aku berharap agar tak ada hati yang kamu lukai lagi,
sama halnya seperti aku."
***
Akhir-akhir ini aku mendapat
kejutan yang luar biasa. Gina mulai menyapaku, dan lama-kelamaan ia sering
mengajakku mengobrol. Sungguh aku tak pernah menduga hal seperti ini akan
terjadi.
“Rasti, gue..”
“Minta maaf?” tebakku dan dia
menggangguk
“Ga cuma itu, gue juga. Gue kangen
panggil kamu sahabat.”
Aku kaget sekaligus terharu.
Nindya yang lewat langsung berteriak histeris melihat kami berdua berpelukan.
“Woy, kalian ga ngajak gue juga
nih? Lo lagi Gin, lo gamau nih sahabatan sama gue lagi?”
Aku dan Ginapun terbahak geli melihat
ekspresi Nindya yang mengerucutkan bibirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar