Sabtu, 02 Juni 2012

Separuh aku

Rumah untuk Danar as separuh aku! 

Angin sore membelai tubuhku pelan. Akupun segera terbangun dari tidurku. Sembari mengumpulkan nyawa, aku bangun lalu meraih BB yang sedari tadi tampak berkedip-kedip. Aku melihat layar, mula-mula mataku menyipit lalu sedetik kemudian aku tercekat. Danar.

Waktu sudah menunjukkan 4.40 pm. Aku segera menyambar kaos Damor berwarna putih tulang serta celana jeans berwarna coklat -yang tergantung- dengan  secepat kilat. Akupun cukup menggerai rambut hitamku walau sebenarnya agak kusut. Dan, 3 menit kemudian aku sudah siap berangkat menemui Danar di Taman. Kulihat jam pada layar BB-ku, sudah 40 menit aku membiarkan Danar diam disana, kuharap ia tidak akan marah padaku. Tampaknya ia juga khawatir, apalagi saat aku melihat 3 SMS, 3 MC dan 5 PING darinya sejak 03.45 pm. Akupun membalas BMnya terlebih dahulu, agar ia bisa menunggu lebih lama.

***
Sepulang sekolah tadi, Danar memintaku untuk bertemu dengannya sore ini di tempat biasa. Entah untuk apa, namun aku segera menyanggupinya. Mungkin, mengingat akhir-akhir ini kita sudah jarang bertemu dan mengobrol. Bukan apa-apa, aku tau saat ini Danar memang tengah disibukkan dalam menyiapkan segala kegiatan untuk Pekan Seni 2 bulan mendatang. Jadi, mau tidak mau sebagai pacar yang baik aku harus rela, bila waktuku terbagi oleh kesibukannya.

Jarak rumahku menuju taman tidaklah seberapa, dengan waktu 3 menit akupun sudah sampai ditaman yang dipenuhi oleh bunga krisan berwarna-warni. Kini aku tepat 30 langkah dari posisinya duduk, dan saat ini kulihat ia yang tengah menunduk memainkan BB nya. Sadar akan kehadiranku, Danar pun bangkit dari bangku taman itu.

“Hey, Ra!” pemilik suara bass itu menyapaku.
“Hey..” Awalnya, aku merasa aneh. Sejak kapan dia mulai memanggilku dengan kata ‘Ra’ lagi? Biasanya dia selalu memanggilku dengan kata ‘Sayang’. Dan, apa maksudnya itu? Dia memakai kaos berwarna abu-abu. Damn! akukan sudah bilang padanya, bahwa aku tak suka dengan warna itu. Dan selama ini, biasanya dia tidak pernah mengenakan kaos berwarna abu-abu dihadapanku.

“..Oh iya, kita mau ngapain, sih? Eh tapi, ini udah sore banget ya? Maaf ya, Yaang,” ucapku dengan muka kecewa sekaligus masih kesal dengan apa yang ia kenakan saat ini.

Kini ia tersenyum sambil menggangguk tanda ia paham. Aku sangat menyukai sikapnya dalam mengertikan aku. Aku merasa selalu dimanja olehnya. Walau kadang ia selalu membuatku kesal. Saat kulihat kembali wajahnya, tiba-tiba senyumnya hilang, dan suasana diganti dengan kebisuan. Aku terdiam dan sesekali melihat sekeliling taman agar aku tak merasa tegang. Tak ada siapa-siapa disini, kurasa hanya aku dan Danar. Entah mengapa, aku merasa tegang untuk diam disisinya. Padahal, ini bukan pertama kali untukku duduk berdekatan dengannya. Apa mungkin karena intensitas waktu untuk mengobrol yang jarang kita lakukan dan ini membuat kita sama-sama bingung untuk berbicara? Entahlah.

“Ra, aku..” Kalimat Danar menggantung. Aku langsung mengalihkan pandanganku. Kini aku menatap lurus mata cokelatnya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Aku pengen putus, Ra.” kata Danar pelan dan hati-hati.

Aku terhenyak, jantungku refleks berdebar dengan kencang dan tiba-tiba rasa sakit menjalar mengisi ruang hatiku. Aku hanya diam, mencoba menahan tetesan air yang akan keluar di pelupuk mata, walaupun sebenarnya hatikku sudah meluap dengan emosi. Semuanya seakan ingin kupertanyakan padanya. Semula kupikir, mungkin dia hanya menjahiliku. Tapi kemudian, aku menyadarinya  melewati tatapan matanya.

“Ra, gimana?” Pertanyaannya membuat semua yang ada dalam benakku menghilang.
             ‘Apanya yang gimana? dasar gak punya otak emang!’ batinku mulai meracau. Kini sel saraf menginstruksikan agar aku menanyakan alasan kepadanya, namun lidah ini terasa kelu. Kata-kata yang hendak aku tanyakan seolah hanya sampai di pangkal tenggorokan. Dan, tak bisa terucap. Tapi, layaknya partikel-partikel yang sedang dipanaskan. Kata-kata itupun semakin mendesak mulutku untuk terbuka.
            “Kenapa..” kataku mulai berkata dengan pelan. “..Kenapa, Nar? Alasan apa yang bisa membuat otakku bisa mengerti atas kejadian ini?” aku menatap sendu kearahnya.
            “Aku rasa.. kita udah ga cocok. Bukan, maaf maksudnya bukan kita. Tapi, aku.” jawabnya kemudian.
            Aku diam sejenak. Merenungkan kata-katanya. “Ga cocok?”. Memang apa yang sudah berubah ditubuhku? Apa yang salah dengan sikapku? Akupun menyerah.
“Oh, yaudah kita udahan.” kataku melawan hati.
“Yaudah, aku pergi dulu ya” ucapnya sembari melempar senyum  khas berlesung  pipit, kesukaanku. Aku meringis, untuk apa dia masih tersenyum seperti itu padaku.
Lalu kubalas senyum itu dengan berkata, “Iya.”
Dan sesederhana itu kita berpisah. Kini aku hanya tersenyum kecut. Kulihat rambut acak namun rapi berwarna coklat dan punggungnya yang semakin menjauh dari pandanganku. Apa yang terjadi tadi? Apa dia cuma bercanda? Tapi, apanya yang ‘cuma’ ? Jelas-jelas tatapan itu, tatapan Danar kala bermain di lapang melawan tim basket lain. Tatapan tegas, serius dan menyakitkan.
Hatiku meringis lagi, pilu rasanya. Semudah itukah dia memutuskanku? Dan, kenapa hanya itu alasan nya? Otakku masih tidak bisa menerima bahwa kenyataannya kini aku telah sendiri. Akhirnya tangis inipun tumpah. Rasa sakit mengingat awal kebersamaan kami hingga tadi, semakin membuat tangisku kencang.
‘Ya Allah, Apa salah aku? Apa karena aku posesif? Apa karena aku egois?’ Beribu tanya kini berada dibenakku. Aku masih terdiam sambil terus menangisinya. ‘Ya Allah,  bantu aku berdiri tanpanya. Kumohon.’
Aku mengusap bekas tetesan air mataku. Aku bangkit, lalu berjalan dengan agak  lunglai. Tampaknya  otakku sudah kacau. Setelah Danar pergi, aku menangis sejadi-jadinya di taman. Aku bahkan sudah tak peduli jika ada orang yang mennganggapku gila. Saat ini, aku hanya butuh melegakan perasaanku yang tertahan sejak tadi. Sejak Danar memutuskanku.
***
   Sebelum matahari siap digantikan oleh bulan, aku telah sampai di beranda rumah bercat merah tosca. Ya, aku telah sampai di depan rumahku. Kubuka daun pintu dengan malas. Lalu dengan setengah berlari, aku melangkah menuju kamar. Saat ini, aku mencoba mencari tempat aman dan nyaman untuk menenangkan hati. Tadi, kudapati Bunda sedang menonton tv dan ia sempat melihat kearahku. Ia tampak kebingungan dan khawatir, tapi ia juga tau, kini aku perlu menenangkan hatiku dulu untuk bisa menjelaskan nanti padanya.
Setelah mengunci pintu kamar, aku menjatuhkan badanku ke kasur. Berat. Bahkan aku tak peduli jika kini tubuhku bau karena belum mandi. Saat ini aku masih  tak mengerti kejadian tadi sore. Tanpa disadari pandanganku mulai memburam dengan genangan air mata –lagi-, tapi tak sekencang tadi, karena aku takut Bunda akan mencemaskanku dan memburuku dengan beribu pertanyaannya.
Aku terdiam lalu mulai mengingat-ngingat lagi. Apa masalah terakhir yang dihadapi kami, apa yang berbeda dan kapan itu terjadi. Aku menerka-nerka.  Tapi, hal yang membuat pikiranku gusar adalah mengingat warna baju Abu itu. Dengan kejadian ini, aku semakin sebal dengan warna Abu. Aku mulai pasrah. Kepalaku kini terasa berdenyut. Rasanya pusing sekali. Dan tanpa sadar aku sudah terlelap dalam tangisku.
                               
                             ***
Pagi  ini tak seperti biasanya, aku bangun subuh sekali. 4.30 am. Aku bangun dan menatap sebentar pantulan diriku di cermin. Kusut dan menyedihkan. Aku teringat lagi kejadian kemarin dan menangis lagi. Ah, Betapa lemahnya aku! Tak bisakah aku bersikap tegar. ‘Ini bukan akhir rasti! Ingat ini bukan akhir.’
Entah mengapa aku beranjak dan bergegas ke kamar mandi. Lalu aku mengambil air wudhu dan menjalankan ibadah wajib ku sebagai seorang muslim. Kuraih mukena yang selama ini hanya tersimpan rapi di lemari. Aku benar-benar merasa malu. Aku malu untuk berkomunikasi denganNya lagi setelah selama ini aku melupakanNya.
‘Maha Suci Allah. Maafkan aku telah melupakan engkau ya Allah. Sebagai tempatku untuk  mencurahkan segalanya.’ Aku menangis lagi, aku merasa tak kuat bila mengingat Danar dan kejadian kemarin sore.
Kuatkan aku ya Allah. Aku tau semua ini dari engkau, jadikan aku manusia yang pandai bersyukur atas semua kejadian ini Ya Allah. Aku yakin, selalu ada hikmah dibalik sebuah kesakitan.’

***
Pagi ini,  aku belum bertemu dengan Danar. Kuharap tidak. Namun itu tidaklah mungkin. Karena Danar sekelas denganku. Kini, aku sangat menyesali salah satu kesamaanku dengannya. Aku masih terdiam dibangku. Sembari menunggu kedatangan kedua sahabatku, Ninda dan Adit, akupun mengambil secarik kertas beserta ballpoint dari dalam tas. Lalu, setelahnya aku mulai mencorat coret kertas kosong itu dengan geram. Begitulah kebiasaanku, bila kesal lebih baik meluapkannya pada kertas tak berdosa ini.

Beberapa menit kemudian Danar datang. Aku sempat meliriknya. Ternyata dia datang bersama sahabatku, Adit. Kulihat sekilas diwajahnya tak ada rasa kecewa. Aku mengigit bibirku. Mungkin dia tidak merasa mengalami kejadian kemarin sore. Mungkin juga yang kemarin itu bukanlah Danar. Alah, hayalanku ini terlalu menyakitkan.

Aku tertegun melihat coretan-coretan dikertas. Mungkin saat ini hatiku seperti itu. Tak tentu bentuk isinya. Tak tentu garis akhirnya dimana, dan tak tentu akan menjadi apa. Amat kacau balau.

Tak lama, Nindya datang dan langsung menghampiriku bersama Adit. Aku menduga-duga pasti mereka sudah tahu kabar hubunganku, apalagi melihat sosok Danar disekolah. Secara, ia termasuk anggota OSIS dan seorang yang sering menyumbangkan 3 point nya dalam setiap laga basket. Dan dugaan ku amat tepat, ternyata mereka sudah tau tentang kabar aku dan Danar putus dari Calista, si pengumpul gosip.

Akupun yang saat ini sedang labil, malah menangis lagi, tapi aku mencoba tak terlalu keras. Karena aku takut Danar mengetahuinya. Adit bertanya padaku mengenai kenapa Danar memutuskanku. Aku segera ingin berteriak, “Aku tak tahu, Sungguh aku tak tahu.’ Nindya memelukku dengan erat. Kini ia tahu,  aku yang biasa energic ternyata  tak sekuat luarnya. Dan aku rasa, semua wanita akan seperti itu. Terlebih, bila ia diputuskan oleh laki-laki yang ia sayangi. Walaupun ia dan Danar baru menginjak 1 tahun 2 hari.
Beberapa menit kemudian, bel berbunyi. Aku harus mulai fokus, tapi pikiranku masih tetap saja tersita dengan bayangan kejadian kemarin. Sepanjang pelajaran dari jam pertama sampai terakhir aku benar-benar kehilangan konsentrasi. Kepalaku terasa pening, rupanya aku sempat tertidur dikelas dan tak lama kemudian Nindya membawaku ke UKS. Kini, Danar telah sukses membuatku sakit luar dan dalam.  


                                                                               ***

Ya, Danar memang telah sukses membuatku sakit luar dan dalam. Saat ini, tak hanya hatiku yang sakit. Rupanya aku demam tinggi. Bunda kaget luar biasa, apalagi melihat anaknya yang biasa energic dan ceria menjadi down begini. Dan, Bundapun menagih tatapan kemarin dengan bertanya padaku.
“Rasti, bunda boleh menanyakan sesuatu sama kamu?” Tanya bunda hati-hati sembari tetap mengelus keningku.
“Ya Bunda, mau nanya apa?” jawabku dengan suara yang memang agak parau.
“Kemarin malem, kamu kenapa langsung ke kamar gitu? Apa ada masalah?”
Aku menghela napas sejenak, tanpa perintah dari otakku air mata ini mulai menetes. Bunda melihat cemas kearahku. Tatapannya seakan memaksa untukku membuka segala kerisauan yang tengah aku hadapi.
“Apa itu karena Nindya? Atau tentang hubunganmu dengan Danar?” Tanya bunda lagi.
Aku terkesiap, mendengar namanya jantungku berdebar kencang. Juga otot otakku yang semakin berdenyut membuatku agak pusing kembali. Aku memejamkan mata sejenak, kurasa Bunda saat ini bisa membantu menenangkan hatiku.
“Danar, Bun.. Danar telah memutuskanku, Bunda.” Aku memeluk tubuh Bunda dengan erat. Aku tenggelam dipelukan Bunda. Ia pun membelai rambutku. Dia meamng sudah tau, bahwa Aku dan Danar telah menjalin hubungan lebih dari teman sejak SMA kelas 1. Bunda yang memang telah mencurigaiku saat aku pulang dari taman, seperti biasa menyerbu dengan seribu pertanyaan. Dan aku hanya menjawab dengan 1 kalimat. Aku mencintai Danar, Bun.  
“Rasti, udahlah. Untuk apa kamu menggalaukan lelaki yang telah nyakitin perasaan kamu? Apa dia pantes dapet perhatian dari kamu? Apa kamu ga sayang sama air mata kamu yang terbuang sia-sia untuk dia? Rasti, Bunda yakin, kalo dia memang mencintai kamu dia ga akan menyakiti kamu. Menyia-nyiakan rasa sayang kamu.”
Aku tertegun mendengar nasehat Bunda. Bunda benar. Tapi, rasa kehilangan ini belum juga pudar. Aku masih butuh banyak waktu. Waktuku untuk melupakannya. Waktu untuk hatiku beradaptasi tanpa mendapat senyum, candaan, dan kebiasaan-kebiasaan manis dan menyebalkan darinya. Aku tak tau nanti, apakah aku bisa?

                                                           ***
Keesokan harinya, setelah sehari aku mengalami demam –ya, bagiku sakit cukup untuk sehari- aku mulai berangkat kesekolah lagi. Sebelum kesekolah, aku melihat pantulan seseorang di cermin. Itu, apakah itu aku? Mata yang agak merah dan sembab. Serta bibir kering dan rambut yang belum kusisir. Mana bisa aku kesekolah begini? Lalu, akupun mulai mengambil lipbalm dan mengolesnya di bibir. Rambut hitam lurusku cepat-cepat kusisir. Dan, tak lupa aku menggunakan sedikit wewangian beraroma  cherry blossom. Dalam 5 menit aku sudah tampak fresh. Syukurlah, kuharap Nindya tak melihat mata sembab ini juga.
 mencoba terlihat riang gembira lagi, padahal keadaanku memang belum cukup membaik.
Dikelas aku dikagetkan oleh Nindya dan Adit yang berada di balik pintu. Nindya langsung berhambur memelukku, tentu Adit hanya melihat kami dengan wajah mupeng nya. Nindya bilang maaf padaku karena ia tidak bisa menengokku kemarin.

***

Dari kejauhan kulihat Nindya yang berlari tunggang langgang menghampiriku juga Adit. Aku terkekeh melihatnya yang tampak kelelahan. Semula raut wajah Nindya kesal, namun setelah ia tau tujuan awal ia berlari, raut wajahmu kembali berubah serius. Kini Nindya mencoba berbicara walaupun napasnya tersengal-sengal.
“Ra, parah banget ini mah hoh.. hoh, Ra hoh..” Tangan Nindya menepuk-nepuk meja dihadapannya, aku tau. Ini tanda ia sedang panik. Tapi, panik untuk apa?
“Apanya yang parah?” tanyaku kebingungan.
“Eh elu nin, nama Rasti malah jadi rahoh” kata Adit yang langsung diam setelah ku pelototi. Aku makin penasaran.
“Sekarang..” Nindya tampak menelan ludahnya.
“Apa Nindya? cepet!” perintahku.
“Danar, Ra. Danar mau nembak si Gina.”

Jadi? Apa Danar memutuskanku karna Gina? Kenapa harus hari ini? Kenapa tidak kemarin saat aku sakit atau saat aku sudah tak menayanginya lagi. Apa Danar sudah tak memiliki hati? Berita ini begitu cepat menyebar di seantero sekolah. Aku tak berani melihat Danar menyatakan perasaannya pada Gina. Aku takut, aku kini sedang terlalu lemah.
Beberapa hari setelah Danar dan Gina resmi berpacaran, menurut berita dari Nindya mereka jadi lebih sering mempertonkan kemesraannya. Aku tak kuasa mendengar segala berita itu, akupun menitikan air mata lagi. Aku mencoba tersenyum saat melihat kemesraan mereka.  Tersenyum diatas tangis. Dapatkah aku lebih tegar kalau suatu saat aku harus melihatnya secara langsung?
Akupun sempat berpikir dengan tololnya, bahwa Danar dan Gina melakukan semua itu hanya bercanda. Kupikir, mungkin Gina juga ingin balas dendam kepadaku dan Danar hanya ingin membuat ku cemburu. Jujur, kini aku cemburu. Bahkan, lebih dari itu, aku ingin untuk balas dendam bahwa akupun bisa seperti itu padanya. Tetapi, rasa ini. Rasa sayang ini terlalu besar dan sudah amat tebal. Sudah terlalu sulit untuk dirobohkan, bahkan olehku sendiri.
“Ah, Danaaar! Apa bagimu mudah merelakan 1 tahun kenangan diantara cinta sementara ?”
Aku tak tau bagaimana lelaki melakukan hal ini. Semudah itukah? Tak sempatkah mereka berfikir akan hati mana yang lebih tersakiti? Apa karena sifat lelaki yang ingin berpetualang merasakan cinta dilain hati perempuannya? Ya, apa boleh buat. Takkan aku menganggap ini keputusan danar semata. Tapi ini adalah sesuatu dariNya, mungkin Dia terlalu sayang padaku.
            Tapi dapatkah aku selalu sesabar ini?

***

Aku sebenarnya enggan untuk melihat pertandingan ini. Aku merasa hatiku tersayat sangat tipis, namun sering dan juga terkelupas. Ini karena, hal-hal yang kulakukan dulu bersama Danar masih terus aku lakukan. Dan Danarpun menerapkan semua hal yang aku dan dia kepada Gina.
Aku menatap Gina yang sekarang menggantikan posisiku didekat Danar. Ia tampak mengobrol dengan asyik dan selalu diiringi dengan derai tawa. Aku benar-benar rindu. Aku merindukan candaanya. Aku tak ingat, kapan ia membuatku tertawa lagi?
Kulihat barisan penonton. Ah seperti biasa, fans-fans Danar yang baru memakai baju putih abu itu terus menyemangati menyebut namanya dengan riang walau mereka tau Danar sudah dimiliki Gina. Aku dulu sempat cemburu dan kesal dibuat mereka. Ulah mereka yang membuat aku was-was. Apalagi banyak diantara mereka yang memang cantik.

***

“Dasar maru lo! Gue pikir kita sahabat. Tapi apa?” Ucap Gina sembari berteriak didepan bangkuku. Kini, seisi kelas tampak memperhatikan Gina dan Aku. Ada juga diantara mereka yang keluar kelas.
“Maksud kamu apaan, Na?” tanyaku dengan tatapan heran. Sungguh, aku benar-benar merasa aneh dan ketakutan dibentak olehnya.
“Gak usah belaga lugu lagi dihadapan gue. Lo jadian kan sama Aris?”
“Ada apaan sih ini? Kenapa sih, Na?” tanya Nindya yang baru datang ke kelas.
“Nih, sahabat lo udah makan bekas sahabatnya sendiri, gatau malu emang.” Celanya padaku. Aku hanya diam, sebenarnya aku sudah tak tahan. Aku ingin menangis sejadi-jadinya saat ini. Tapi sekuat tenaga aku mencoba agar tak bobol.
“Aris? Rasti ga ada hubungan apapun ko sama Aris. Percaya deh sama aku, Na.” Nindya mencoba meyakinkan Gina, namun itu sia-sia. Kurasa dia sudah mempercayai berita dari si penggila gossip itu. Sampai-sampai ia tak mempercayaiku, tak mempercayai sahabatnya sendiri.
“Lalu, apa maksudnya -dibonceng mesra- itu? Apa? Katanya lo juga sependapat bahwa Aris. Cowo yang udah nyakitin hati sahabatnya, ga pantes buat punya cewe lagi. Tapi   apa? Lo, emang munafik Ras!”
“Aku ga maksud buat-“ Gina segera memotong kalimat Rasti, “Pengkhianat. Gausah munafik lo, Ras!”
Tiba-tiba, lelaki yang sedang mereka ributkan datang ke kelas. Aris kaget saat tau Gina tengah mengecam Rasti. Langsung saja ia menarik paksa Gina keluar ruangan. Diluar kelas Aris langsung menghempaskan lengan Gina. Gina Nampak tak senang diperlakukan begitu. Ia menatap sinis kearah Aris.
“Mau apaan, hah? Apa?! Ngebela cewek baru lo ini gitu?!” Gina berkata dengan keras dan sinis. Aris nampak kesal melihat kelakuan Gina. Ia langsung berkata to the point pada masalahnya saat ini.
“Gin, Rasti ga salah. Dia sama sekali ga jadian sama gue. Dia, sama sekali gasuka sama gue. Dan-” Gina sudah tak tahan dengan alasan mereka berdua. Ia, sudah sama sekali tak percaya siapapun salah satu dari mereka. Dan dia hanya mengucapkan, “Gue udah gapercaya dan ga peduli !”
Gina memutar balik tubuhnya, ia kini berjalan menuju ke dalam kelas lagi. Ia langsung terhenti di depan bangku Rasti. Rasti dan Nindya menatapnya keheranan dan penuh tanya. Gina nampak sibuk merogoh sesuatu disaku rok nya. Setelah ia mendapatkannya, tiba-tiba barang itu ia lemparkan kearah Rasti. Dan, terakhir ia mendekati Rasti lalu berkata, “gue benci banget sama lo!”
***
           Kutatap kain persegi berwarna abu-abu. Ditengahnya terdapat 3 huruf yang berinisial, RNG. Aku menghela napas. 1 tahun yang lalu, Gina melempar sapu tangan ini kepadaku. Sapu tangan hasil kita bertiga. Aku, Nindya dan Gina. Akupun mulai terisak. Aku rindu semua hal yang kulalui bersama Gina. Sikapnya yang sinis namun terkesan dewasa. Kadang dia bisa membimbingku. Seolah-olah ia kakak kandung yang selama ini aku rindukan kehadirannya.

                                                                             ***
  Hari-hari selanjutnya, seperti suatu ritual penting. Galau adalah kegiatan utama selain makan, sekolah dll. Tak lupa, aku jadi sering mengecek keberadaan Danar lewat timeline nya. Kini aku benar-benar menjadi stalker Danar. Walau  sebenarnya, kadang hatiku sakit. Melihat Danar dan Gina saling mention, dan tentu dengan emot kiss dan love dimana-mana. benar-benar memuakan. 
Malam ini aku menangis kembali, aku sempat mengingat kisahku sekitar 1 tahun yg lalu. Sembari berkaca, kulihat pantulan wajahku dengan rambut acak-acakan dan mata yang agak sembab. Kupeluk guling yang selama ini menjadi teman tidurku dengan erat. Lelah. Aku lelah bila terus-terus  begini. Aku tak tau sampai kapan aku akan menggalaukannya terus. Kapan aku bisa tanpanya, tuhan?. Sebelum aku tertidur aku sempat menuliskan kenangan-kenanganku di notes akun facebookku.
 Semoga takkan kau lupa janjimu itu.

                                                                           ***

Hari ini aku kaget setengah mati. Danar menchat ku di BBM, dan ia menanyakan apa kabarku dan pertanyaan lainnya. Aku sempat melihat kearah bangkunya. Dan, diapun rupanya sedang menatap kearahku. Danar yang tertangkap basah, langsung menunduk. Kurasa kini, wajahnya memerah. Aku memang senang ia bertanya lagi padaku. Namun, aku merasa takut terhadap perasaan ini. Perasaan nyaman diperhatikan olehnya lagi.
“Plis, Danar jangan kasih aku harapan kosong. Apa kamu ga cukup buat aku menderita dengan rasa rindu tak terbalas ini?”

Bulan ini benar-benar bukanlah aku yang dulu. Kini aku sering panas, dan menangis di kamar. Nindya pun sempat melongok ku dan berceramah ini itu.
“Please, Ras. Lo jangan sedih aja, inget kondisi tubuh lo. Tubuh lo butuh makan, otak lo juga perlu wawasan lagi, dan tangan kaki lo juga butuh gerak seperti lo yang dulu. Apa lo tega ngebunuh diri lo sendiri?”
“Nin, apa aku boleh mengganggu kehidupan mereka?” tanyaku sumbang. Nindya menatapku heran. “Maksud kamu Ras?”
“Apa aku..” aku meraih tangan Nindya. Semula ia merasa ngeri aku menggapai tangannya. “Boleh diantara mereka berdua?” lanjutku kemudian sembari menatap dan mencemkram tangan Nindya.
Nindya benar-benar kaget dengan pertanyaanku barusan, terlihat dari ekspresi matanya yang terbelalak. “Kumohon jangan, Ras.” Pintanya padaku.
“Dia ngebuat gue sakit, Nin! Lalu kenapa gue gaboleh ngambil kebahagiaan gue dari mereka?”
“Itu gabakal jadi kebahagian buat lo, Ras. Please, jangan dengerin hati lo kalo lagi emosi. Gunain akal sehat lo. Pikirin apa yang akan terjadi selanjutnya kalo lo ngelakuin hal itu. Gue rasa, lo bakal tambah sakit Ras. Biarinlah mereka mendapat kebahagiaannya. Kalo emang dia baik buat lo, dia entar bakal nyadar dan tanpa lo minta dia bakal pulang ketempat asalnya..." Nindya merangkulku, lalu ia berbisik di telingaku. 
“Mungkin saat ini dia lagi merantau, Ras.” katanya pelan.
Aku menarik diriku dari pelukan Nindya. “Tapi, Nind. Harus berapa lama rumah itu menunggu pemiliknya pulang? Apakah sampai rumah itu rusak dan bobrok baru ia  kembali?" 
***
Saat ini aku tengah disibukkan dengan persiapan menghadapi Olimpiade Sains Nasional (OSN). Aku mengikuti di bidang Fisika. Yah, allah memberiku anugerah yang luar biasa terhadap otakku ini. Aku sudah pernah mengikuti Olimpiade ini tahun kemarin, dan aku  berhasil memenangkannya. Dulu, Danar selalu menemaniku untuk sekadar Tanya jawab. Aku teringat lagi, saat itu aku dan Danar berada di bawah pohon tengah bertanya jawab,  dan tiba-tiba salah seorang guru melewati kami.
“Aduh, aduh, awas itu rumus pada terbang.” Kata seorang wanita berusia 45 tahunan itu pada kami. Bu Ida namanya.
Seketika kamipun tertawa bersama. Ya, hubungan kami memang luar biasa indah bagiku. Tentu bagi Danar juga-dulu-. Aku berhasil mendapatkan juara satu di tingkat kabupaten dan juara 3 di tingkat provinsi. Hebat? ah, kurasa biasa saja. 
  “Aku harus melupakannya dulu. Inget Ra, masa depanmu bisa rusak kalo kamu galauin dia terus. Kamu mesti tunjukkin bahwa dia bukan pengatur hidup kamu!” tekadku. Hari ini cuaca lumayan bersahabat, tapi tampaknya hatiku masih saja mendung. Kuhirup sejuknya udara pagi yang -sangat- menyegarkan tubuhku. Aku tersenyum saat melewati taman sejarah ini. Sejenak kuhentikan langkahku. Kuingat kembali kejadian yang lalu. “Kurang lebih 1 tahun yang lalu, dia menyatakannya padaku dan dengan malu-malu aku menerimanya begitu  saja”. Aku tersenyum geli,
“Rasti”           
“Iya?”
“Mm, mau ga?”
“Apa?”
“Jadi pa-a, pa..?”
“Ha? Apaan?”
“Eh mm, jadi pacar gue”
“Oh…”                      
“Gimana, mau ya?”
“Iya mau”
“Serius?”       
“Iya bawel”

Aku kembali tersenyum geli dan segera melanjutkan langkahku.

“Hmm, kayaknya aku udah bisa merelakannya sedikit demi sedikit." batinku dan tak kusadari senyum telah mengembang menghias wajah. 
                                                               ***
Saat akan memasuki kelas, aku sempat melihat Gina yang sedari tadi memperhatikanku.
“Aneh” kataku dalam hati.
Bel istirahatpun berbunyi, entah untuk apa Gina tiba-tiba ada didepan kelasku. Ups, aku lupa. Bukan kelasku juga, kelas pacarnya!
“Rasti!” panggil seseorang padaku. Aku mengenal suara ini. Terlebih suara ini sudah kukenal saat umurku masih 8 tahun. Tak ada yang berubah. Dan, saat aku memutar tubuhku, jantungku mencelos. Benar-benar tepat dugaanku.
***
Aku celingak celinguk sendiri. Eh, yang namanya Rasti disekolah inikan cuma aku. Sebenarnya aku kaget sekali, untuk apa ia menyapaku? Seketika aku merasakan badfeeling.

“Eh, ke aku ya?” kataku mencoba ramah padanya.
“Iya, ikut gue yuk!” jelasnya yang langsung menarik aku tanpa permisi. Akupun memberi isyarat pada Nindya -yang ternyata melihatku dengan kaget-, bahwa aku akan segera menyusulnya ke kantin.

Aku tak tau apa maksud dia menarikku seperti ini, dan akhirnya di salah satu ruangan dia melepaskan tangannya..

“Gue mau nanya, apa maksud lo ngumbar-ngumbar kisah lo yang dulu sama Danar?” tanya Gina yang tothepoint padaku.
Ah, aku benar-benar kaget setengah mati. Untuk itu rupanya. Aku masih bersyukur, kuharap ia tak tau bahwa Danar saat ini sering BMan denganku. “Oh, itu. Maaf aku nyadar, aku salah ngumbar-ngumbar kenangan aku yang dulu sama Danar. Tapi aku cuma saran aja, kalo aku jadi kamu, itu gabakal jadi masalah ko, kalo kamu percaya sama cowo kamu!”
Dia terlihat geram, saat ia akan berkata aku segera memotongnya, “Lagi pula sekarang aku gabakal ngelakuin hal bodoh itu lagi. Cape! Dan asal kamu tau na, aku berhak mengingatnya karena Danar ga ngelarang aku untuk ngingetnya” kataku mencoba menarik otot pipi dan tersenyum sinis.
“Tapi gue yang sekarang ngelarang lo!”
“Kenapa? Takut Danar  ke aku lagi gitu? Apa kamu ga cukup puas dengan adanya Danar disisi kamu? Ga cukup buat kamu balas dendam sama apa yang lo anggap salah satu tahun yang lalu? Apa kamu ga cukup sekarang buat aku kehilangan Danar bahkan hidup aku?” kataku dengan setengah berteriak. Seperti bom, kini hatiku seperti telah meledak! Bahkan kata-kata ku sudah bukan mencerminkan aku sendiri. Dasar Rasti bodoh!.
            Ruangan tampak hening.
            Aku menghela nafas dan mulai berbicara lagi, “Ini yang terakhir, aku gabakal nginget Danar lagi ko. Dan maaf, tadi aku gabisa ngontrol emosi aku”
            Akupun bergegas keluar dari ruangan itu. Sambil terisak dan setengah berlari aku menuju kearah toilet. Saat menuju toilet aku sempat bertemu Danar. Sekilas kulihat dia melihatku dengan wajah bingung. Please, Danar. jangan melihatku seperti itu. Sampainya di toilet aku tak dapat membendung hati ini yang begitu kesal.
                     “Danar! kamu jahat, kamu rusak kehidupan aku. Ya allah bantu akuu! Aku sangat  lelah”

 ***

 Hari demi hari berlalu. Setelah kejadian itu aku jadi lebih bisa merelakannya. Walaupun rasanya sakit, tapi berkat dorongan bunda – yang akhirnya tau-, nindya dan adit, aku jadi bisa merasakan hidup lagi walau tanpa, Danar.
“Ya allah, terimakasih atas semua ini. Terimakasih tlah membuatku sekuat ini. Semangat rasti! Kamu bisa kok. Ada bunda, nindya juga adit ini kan?” ucapku dalam hati sembari tersenyum.
Selain itu, aku mencoba menyibukkan diriku. Selain menunggu hasil OSN aku belajar membuat kue. Rainbow cake. Kue warna-warni disetiap lapisan itu membuatku gemas ingin segera mencoba membuatnya. Bunda sangat senang dengan aku yang kembali lagi ceria. Bunda membantu sepenuhnya aku dalam belajar membuat rainbow cake. Aku juga sempat terkekeh kala bunda berkata bahwa dengan membuat kue , bisa ngebuat kita tidak terfocus pada ‘ehem’ mantan. 
Tiba-tiba saat selesai membuat kue, kali ini aku dikagetkan dengan dua pesan masuk. Yang pertama dari Nindya dan yang kedua dari nomor yang tak aku kenal.
Sender: Nindyaa
Rasti!!! Kamu tau? Danar udah putus sama Gina !

Terus? Aku mesti bilang wow gitu? Duh Nindya! Aku ga mau berharap apa-apa lagi.
Lalu akupun membaca pesan kedua,

Sender: 087726889xxx
 Rasti, aku pengen ketemu kamu.
 Kamu tau kan taman krisan yang dipertigaan. Nah,
 besok aku tunggu kamu disitu ya!

Pertamanya aku hanya menanggapinya sebagai orang jahil. Tapi, aku teringat sesuatu. Kenapa mesti taman itu yang orang ini inginkan? Dan tadi kata Nindya apa? Danar putus? Entah harus bereaksi seperti apa? Senang atau sedih? Dan bingung? Ya! Aku takut, aku akan berharap. Aku tak mau.
Aku menceritakan sms dari si pengirim tak dikenal ke Nindya. Dan Nindya bilang,
Wah, yaudah datengin aja dulu kali. Lumayan kan, dapet cowo baruuu
Iya kalo cowo. Nah cewe?
Ya alloh Ras, kalo ngajak ketemuan itu ya pasti cowo lah. Masa cewek mau ketemu pake kata ‘ketemuan’? hiii, entar yang ada nyari temen lesbian.
Okey, jadi intinya aku musti kesana nih?
Terserah elu itumah say, yang pasti liat dulu aja kali.

                Hmm, ada benernya sih. Yaudahlah, cuma ketemuan doang juga kenapa dipusingin. 

                                                              ***

Keesokan harinya,
"Eh, iya dia kesanaya mau jam berapa ya? Duh, dasar ngajak ketemuan tapi waktu ga ditentuin."
Dengan berbekal keyakinan, siang ini aku melangkahkan kakiku ketempat bersejarah. Sejarah cintaku. Dan sesampainya disana, aku dikagetkan dengan senyum seseorang yang aku kenal. Dia? Pemilik senyum dengan 2 lesung pipit itu. Danar.
“Hai, Ra,” sapanya lembut.
“Hai juga.” balasku kaku dan datar.
“Gimana kabar kamu?” tanyanya sembari memperlihatkan kedua lesung pipit yang selama ini tak pernah aku melihatnya sedekat ini –lagi-.
“Ya gini, masih single single aja. Eh..” loh ko aku jadi curhat, kesannya kayak yang kasian gitu. Rasti, please jangan nunjukin kalo kamu nervous!
Pipiku terasa menghangat. Tanpa pikir panjang akupun segera meralatnya. “Mm, maksud aku baik, kalo kamu?”
“Baik juga,” katanya diiringin tawa bersuara bass itu.
Duh, apa yang musti diketawain sih.
“Oh iya, aku udah putus sama Gina”
Hey, hey, aku gananya loh yaaa! Terus aku harus ketawa girang gitu ngedenger kabar itu? Huh.
“Mm, udah tau ko," kataku dengan senyum memaksa.
“Wah, tau dari mana?” Danar pura-pura kaget. Aku selalu merasa sebal jika ia mulai begini.
“Orang tenar sih gosipnya cepet nyebar, Nar.” kataku memperjelas.
“Wah, aku kemasuk orang tenar sekolah nih?” tanyanya dengan bangga.
“Ya gitulah” jawabku agak malas. Apa dia tak pernah menyadari kehadiran fans-fans nya yang kadang membuat kita bertengkar-dulu-?

Tiba-tiba suasana jadi hening, dan Danar berhasil memecahkan keheningan itu.
“Ra, apa kamu mau jadi pacar aku lagi?” tanyanya tanpa ada keraguan dan kegugupan.
Aku melirik kearahnya, kulihat dia menatapku dengan tatapan serius. Aku bingung, antara senang dan tentu kesal mengingat kejadian dulu ia yang menyianyiakanku begitu saja.
“Ra, aku pengen kamu jawab sekarang aja ya?” katanya kemudian.
Aku tertunduk lemas. Bila aku menerimanya lagi, aku takut. Aku takut harapanku nanti tak seperti novel-novel yang sering kubaca. Aku takut tuhan membuatku untuk terluka lagi. Lalu akhirnya kecewa,  dan aku takut dia menyakitiku atau bisa saja aku yang akan menyakitinya. Namun sekali lagi, walaupun aku telah berhasil untuk mengikhlaskannya, sampai saat ini.. aku masih menyimpan ruang untuknya dihatiku. Ruang kecil khusus untuknya, kembali.
“Danar..  aku,” napasku agak tertahan di kerongkongan. Bibirku mulai mengering.
“Iya?” kulihat matanya menatapku dengan lekat. Kini ada jeda yang panjang. Aku menarik nafas lalu setelah kesiapan itu ada, kuucapkan kata itu.
“Maaf, aku gabisa lagi nerima kamu” ucapku dengan nada hati-hati. Aku menghembuskan napas setelahnya. Saat ini, hatiku terasa kosong sekali sampai kedalam.
“Kenapa Ra?,” tanyanya setengah tak percaya.
“Ya, aku masih sakit aja. Luka ini, walaupun udah kering tapi masih ada bekasnya, Nar.”
Ingin rasanya aku menghakimi dia atas semua ini. Tapi aku tahan, aku tak mau terlalu menyalahkan dia. Karena entah mengapa, meskipun ia telah menyakitiku aku tak dapat menghapus rasa sayang ini. Bodoh? Ya, aku memang bodoh. Dan aku yakin, semua orang bila sudah dihadapakan dengan cinta akan bersikap bodoh.
“Maafin aku Ra, tapi aku janji aku gabakal bikin kamu sakit hati lagi, kumohon kasih aku kesempatan buat nebus semua kesalahan aku. Aku udah sadar, cuma kamu yang emang bener-bener tulus sayang sama aku.” kini Danar menggenggam tanganku dengan erat.
Aku merasa dongkol. Kenapa kamu baru sadar sekarang? Setelah kamu udah nyakitin aku, Nar. Apa caramu menilai hati aku segampang itu? Akupun menatap matanya dengan penuh emosi yang tertahan.
“Mungkin untuk lelaki lain aku tak takut untuk patah hati, tapi untuk kamu..” aku menghela napas, “..Aku ga mau ngulangin sakit yang kedua untuk orang yang sama. Itu sakit!”
Danar  membisu. Dia melonggarkan genggamannya, saat ini ia tampak memikirkan sesuatu. Tatapannya kosong lalu menunduk. Kini keheningan menguasai waktu.
“Maaf,”  kataku lagi. Aku takut sekali menyakiti hatinya. Kupikir ucapanku tadi sangatlah kejam. Tetapi, kurasa ia harus memahami itu mulai dari sekarang.
“Aku bodoh ya, sempet ngebiarin orang yang sayang banget sama aku terluka karena aku sendiri” ucapnya getir sembari mengelus pelan kepalaku. Aku tersenyum dan membiarkan ia untuk sekejap mengelus kepalaku.
            “Masih banyak ko yang sayang sama kamu, coba aja lihat adek kelas kita tuh. Mereka justru berharap kamu jomblo tau,” aku tertawa pelan dan kulihat pula senyum berlesung pipit disertai kemerahan menghias di wajah Danar.           
“Kuharap kita bisa ngambil pelajaran dari kejadian yang lalu hingga saat ini, Nar.” kataku kemudian.
“Semoga nanti, aku bisa dapetin cewe yang baik kayak kamu, Ras.” kata Danar sumbang. Ia melihatku dengan senyum yang aku tau ia kecewa. Tapi, aku yakin ia akan baikan setelahnya.
“Jangan dong,  kamu harusnya nyari yang lebih baik dari aku.” Kataku mantap.
Kini mataku mulai berkaca-kaca lagi. Danar kebingungan dan ia langsung menyeka air mataku dengan jari tangannya dengan lembut. Aku memang menangis. Tapi sekarang beda, berbeda dari dulu. Rasa yang aku tak dapat pahami perbedaannya. Antara senang dan sedih. Namun, satu hal yang membuatku bahagia. Yaitu, kelegaan hati.
Aku menatapnya walau air mata ini membuat bayangan Danar agak buram. "Danar,  sebenarnya aku ingin menerimamu lagi. Tapi, aku hanya ingin memberi pelajaran yang indah untuk kamu, agar kamu bisa menghargai hati seseorang dikemudian hari nanti. Cinta itu bukan permainan. Dan juga bukan rumah yang bisa seenaknya untuk kau pergi dan kembali. Kamu harus tau, Nar. Rumah yang sudah lama ditinggali itu sudah tidak akan mengenal siapa pemiliknya. Sekalipun kau bisa masuk untuk kembali kedalamnya. Kau tidak akan nyaman. Karena, sebelum kau kembali, rumah itu telah terisi oleh yang lain. Atau bisa saja, telah ambruk karena tak terurus.   Dan, dari semua kejadian ini aku berharap agar tak ada hati yang kamu lukai lagi, sama halnya seperti aku."                                          
 ***

Akhir-akhir ini aku mendapat kejutan yang luar biasa. Gina mulai menyapaku, dan lama-kelamaan ia sering mengajakku mengobrol. Sungguh aku tak pernah menduga hal seperti ini akan terjadi.
“Rasti, gue..”
“Minta maaf?” tebakku dan dia menggangguk
“Ga cuma itu, gue juga. Gue kangen panggil kamu sahabat.”
Aku kaget sekaligus terharu. Nindya yang lewat langsung berteriak histeris melihat kami berdua berpelukan.
“Woy, kalian ga ngajak gue juga nih? Lo lagi Gin, lo gamau nih sahabatan sama gue lagi?”
Aku dan Ginapun terbahak geli melihat ekspresi Nindya yang mengerucutkan bibirnya.

Tak ada lagi kata yang bisa ngungkapin kebahagiaan ini. Semua udah jelas. Semua kembali pada posisi awal lagi, walaupun aku gabisa pada posisi bersama Danar lagi. Dan aku berharap kita gapernah salah dalam berpindah tempat. Aku melihat kearah kanan. Rupanya sedari tadi ada yang memperhatikan kami, terlebih kurasa ia memperhatikanku. Karena saat kutatap kearahnya ia tersenyum. Senyum dengan 2 lesung pipit itu. Akupun membalas senyumnya. Danar terlihat bahagia melihatku begini. Yah, posisi yang semestinya tak pernah tergoyahkan.

Tidak ada komentar: