Senin, 13 Agustus 2012

Haruskah aku mengalah -lagi-?

(karya asli: Syifa Syafira A)

Dari kejauhan, aku menatap sesosok berbadan tegap itu yang tak hentinya berlari kesana kemari mengejar bola. Rama. Dia sosok yang ku maksud. Dia yang berhasil membuat aku berharap lagi tentang cinta. Hal yang sangat absurd menurutku. Sebenarnya, aku belum jadian dengannya. Ya, bagaimana jadian? Orang dia saja tak tau aku.

            “Dinaaaan,” teriak seseorang sembari menghampiriku.
            “Mmm, apa Sya?”
            “Kamu lagi apasih? liatin siapa hayooo?” Rasya menggodaku.
            “Apaan siiih,” kataku menahan tawa.
            “Oh, iya kemarin aku dianter sama Rama loh! Tuh anaknya yang itu!” 

            Aku tersentak. Dianter? Aku coba mengikuti arah telunjuknya agar Rasya tak tau bahwa aku sudah kenal, sudah sangat tau bentuk fisik Rama sekalipun dengan menutup mata.
          
            “Oh, yang ituu,” aku tersenyum, mencoba menutupi kekecewaan yang mulai merambat dihati.
            “Iya, kece kaan? Hihi,”


           Ya tuhan, jadi Rasya juga suka sama Rama. Apa mereka sudah jadian tanpa sepengetahuanku?
Kini hatiku seperti piring pecah. Sahabatku menyayangi Rama. Sosok yang kuinginkan saat ini dihidupku. Rasya memang tak tau akan hal ini tentang perasaan terpendamku. Tapi.. Apa dia tak pernah menyadari, untuk apa aku meluangkan waktu istirahatku hanya untuk melihat Rama? Tak pernahkah ia mengerti, Tuhan?

Tiba-tiba penglihatanku mengabur, kepalaku terasa pusing, dan mulutku terasa mual. Aku mencoba berdiri, namun yang terjadi selanjutnya aku kehilangan kesadaran.

***

Sudah sering kali aku mengalami hal ini. Saat SMP contohnya,

              Vicka. Dia teman atau bisa dibilang sahabat pertamaku disekolah itu. Aku mengenalnya saat upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa (MOS). Dia menyapaku dengan sangat ramah. Makanya aku tak ragu untuk berkenalan dan bersahabat dengannya.
             Ternyata kamipun sekelas. Aku mengajak Vicka untuk duduk bersamaku. Setahun aku mengenal dia. Setahun pula aku mengenal sekolah ini dan isinya. Kini akupun mulai merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Aah, cinta monyet dasar!
            Vicka, dia lebih dulu mengenal cinta. Dia sudah beberapa kali gonta-ganti pacar. Tampaknya dia lebih berani untuk menyatakan perasaanya dibanding aku.
            Yaaah... tak seperti aku. Baru cinta pertama sudah dipendam gini. Bahkan bercerita pada Vicka pun aku tidak berani. Tuhaan, Aku ingin memiliki. Tapi, aku takut seperti orang lain. Takut patah hati. Akupun takut ditolak. Meskipun orang lain sering bilang aku cantik. Tapi, aku.. Ah sudahlah. Aku tak perlu banyak berharap. Apalagi saat ini aku, ah tapi, akupun tidak yakin bahwa aku benar-benar mengidap, kanker.

***

           Cinta pertamaku jatuh pada Fikri. Dia kakak kelasku. Aku bertemu dengannya saat di florist kakakku, Tami. Waktu itu, aku menjaga toko mengganti kakaku yang sedang sakit. Udara memang sedang ekstrim-ekstrimnya. Bentar-bentar dingin, bentar panas. Aneh. Saat ini saja contohnya, diluar sedang gerimis tapi aku masih merasa panas. Tiba-tiba pintu florist terbuka,
         “Oh ada pelanggan nih,” batinku.
Si pembeli itupun mendekatiku. Aku terdiam sejenak, Seragam ini.. Kayaknya aku kenal. Kulihat kearah badge nya, dan namanya. FIKRI.
        “Mbak, haloo, Mbak,” dia mengibaskan tangannya didepan mukaku. Aku tersentak dan akhirnya tersadar dari lamunanku. Kini, aku agak gelagapan dibuatnya.
       “Ah, eh. MBAK?”
       “Oh hahaha maaf maaf, mm, disini jualan bunga mawar engga ya?” Tanya dia sambil diiringi derai tawa.
       “Iya. Mau beli berapa?” ucapku mencoba santai, padahal jantungku sudah mau copot dari tadi.
       “Kalo seikat bunga mawar gitu, gimana? Bisa ga?” dia menunjuk bunga mawar yang berada tak jauh dari situ.
       “Bisa. Oh, iya mau pake kartu engga?” tanyaku sembari terus mencuri pandang kewajahnya.
       “Boleh,”
Segera aku mengambil balpoint serta kartu pesan dilaci, “Oke, mulai yaa. Gimana isinya?”
        “Untuk yang aku sayangi. Aku kangen banget nih…”
Yah, gajauh beda sama cowo lainnya. Pasti buat cewenya.
        “ …Ma. Udah lama ga ngerasain masakan Mama, dipeluk Mama lagi. Kapan Mama mau mampir ke mimpi aku? Sekedar nyapa atau ngebelai aku aja, Ma. Mama ga kangen ya sama aku? Aku, Dean, sama Papa kangen banget sama Mama. Semoga Mama tenang ya disana..”

Dia terdiam. Aku menoleh kearahnya, “Udah?” tanyaku padanya.
       “Iya, udah ajadeh segitu.” katanya sambil tersenyum.

Gosh! Senyumannya maut gila. Tanpa aku sadari, aku membalas senyumnya. Bodoh, ngapain malah bales senyum juga sih! Segera aku menenangkan diri dengan menanyainya,
      “Oh ya, kamu sekolah di SMPN 18 Bandung ya?”
      “Ko tau sih? Ah, liat badge yaaa,” katanya sambil menutup badge nya.
 Sikapnya, kurasa dia cocok untukku. Eh, apa? Maksudnya aku ngomong cocok? Jangan ngarep deh, Nan!
      “Eh engga, aku juga sekolah disitu tau,” mencoba mengelak tapi kurasa sudah gagal.
      “Oya? Kelas berapa? Ko aku ga pernah liat kamu ya?”
Duh, ko jadi ber-aku kamu- gini sih. “Elaaah, ketauan banget sih aku ga populernya? aku masih kelas 1, Kamu?”
      “Hahaha, calm down. Aku kelas 2.” Dia tertawa dan aku hanya mengutuki diri. Kelas 2? Mampus deh. Ga sopan banget ya, ga manggil kakak lagi.

Akupun menunduk, pura-pura sibuk mengitung dan membereskan kembali pesanannya sambil menyelipkan pesan itu diantara bunga mawar ini.
      “Ka Fikri, ini harganya segini dan ini bunganya.”
      “Yaudah nih. Eh tadi apa? Ka Fikri? Tau darimana nama aku? Waaah, ngeliat yaaaa,”
Mati deh. Kenapa manggilnya pake ‘FIKRI’nya juga ya. Keliatan deh SKSD nya. Pokoknya mati, mati, mati deh inimah!

Akupun hanya mengangguk, dan tersenyum simpul. Mencoba menutupi semburat merah yang kayaknya dari tadi udah keliatan sama fikri. Dodol emang.
  
             Sejak itu, aku mulai mencari tahu tentang kehidupan Fikri. Apa uname fb nya, juga twitternya. Sejak saat itu pula aku jadi si tukang ngstalk- stalker nya Fikri. Setiap hari aku pasti liat Timeline  atau wall di facebook nya.  Hingga akhirnya kadang aku harus nyesek juga ngeliat dia mentionan, atau wtw sama temen-temen cewenya. Yah, mau gimana lagi? Emangnya aku berhak ngelarang dia? Kan aku gapunya hubungan apapun sama dia. Tragis. Akhirnya aku berniat ingin menceritakan ini pada Vicka. Namun saat itu,

        “Hey, Dinan. Ko diem disitu sih? Sinii,” panggil Vicka padaku.
        “Ah, mmm. Iya,” aku berjalan ragu. Hatiku berdegup kencang. Tuhan, tolong untuk saat ini, biarkan aku bersikap seperti biasa saja.
        “Nah, Dinan kenalin, ini Fikri. Fikri, ini Dinan sobat baik aku.”
Dengan agak ragu, akupun bersalaman dengannya.
       “Hai aku Fikri, plus pacarnya Vicka.”
Apa? Kenyataan ini. Benarkah? Dia tersenyum padaku. Senyum itu. Senyum di florist itu.Tapi, kini..
      “Dinan,” kataku sambil membalas senyumannya.
      Kuharap, dia ga inget waktu di florist deh, batinku mulai pasrah.
      “Vick, aku balik ke kelas duluan yaa,”  kataku mencari aman.
      “Ih, nanti atuh. Bentar lagi da.” kata Vicka merengek.
      “Aku ada urusan penting nih, yaa,” kataku sambil mengedipkan mata.
      “Huu, iyadeh.” Vickapun pasrah.
Akhirnya, aku meninggalkan mereka berdua. Tapi tadi, saat meninggalkan mereka. Aku sempat mendengar walaupun agak sayup sayup.
     “Vick, kayaknya aku pernah ketemu sama Dinan deh. Tapi aku lupa, mm, dimana ya?”
Aaaah! Fikri.
Dan sampai saat itulah aku mulai menjauhinya. Walopun diem-diem tetep liatin TL sama statusnya. Dan diem-diem nyesek saat aku harus nganter sobat sendiri ketemuan sama –mantan-gebetan sobatnya a.k.a pacar resmi si Vicka.
Kejadian kayak gini rupanya ga cukup sekali di hidup ku. Setelah 4 bulan berhasil nyari-nyari target gebetan, dan voila ada! Si target bernama Fariz, dia anak temen nyokap. Dia suka nganterin nyokapnya ketemu nyokap aku. Biasalah ibu-ibu gawl gitu dan yang jadi kena keganasan mereka ya anak-anak nya. Gatau dengan tujuan apa ya, ibu-ibu itu ngajak anak mereka buat nemenin mereka kalo akhirnya ditelantarin juga. Eh tapi, bagi aku ada untungnya sih, kan jadi bisa kenal sama Faris.
“Nah, sementara ini kamu maen sama Faris ya, Nan! Sambil nunggu sepupu kamu tuh,” kata Mama sambil mendorong ku pelan mendekati Faris.
“Yah, Ma! Aku ikut kedalem dong, Maaaa,”
“Tenang aja Dinan, Faris baik ko ga bakal gigit, tante jamin deh.” Mamanya Faris, tante Sarah menenangkanku.
Dan akhirnya aku menyerah.
Ah parah! Mama ga peka banget sih. Udah tau anaknya suka gelagapan kalo sama cowo. Apalagi cowo kece gini,
“Nama kamu Dinan ya?” Tanya cowo yang giginya berbehel itu.
“I-iya. Haiii, salam kenal yaa,” kataku dengan nyoba menarik otot pipiku.
Tuhkan, apa yang sekarang dipikirannya coba ya? 
Aku nyoba mejamin mata. Mencoba berharap semoga ini cuma sebatas mimpi, tapi ternyata aku malah merasakan mual. Aku membungkam mulutku lalu segera aku berlari ke arah toilet. Ah, penyakit ini!!
Sesaat setelah aku kembali, aku melihat satu sosok perempuan sebayaku yang berada disamping Fariz. Dia Siska, sepupuku. Fariz menghampiriku dengan muka cemas.
“Kamu tadi kenapa, Nan? Kebelet?”
JEDUAAARRR,
“Ah, iya tadi aku pengen pipis. Kebelet. Hehe,”
Nih cowo, cakep-cakep tapi bego kayaknya. Pfff.
Setelah kejadian itu, anehnya aku makin tau dia, makin kenal dia, dan sering ketemu. Walaupun sebenernya bukan janjian kita berdua, melainkan janjian nyokap-nyokap kita. Namun, dia lebih sering bertanya soal Siska, sepupuku itu. Sampai akhirnya kode itupun!
“Eh, Nan. Siska single apa in relationship ya? tau ga? Hehe,” tanyanya sambil malu-malu.
APA? SISKA? DIA LAGI SINGLE KO! TERUS, MAU LO APA, RISS?
“Ehehe, kurang tau tuh. Single kayaknya,”

Dan, dari situ aku tau dia suka sama Siska,  ga perlu berlama-lama pula, mereka jadian! 
Sekali lagi aku berdoa ditengah kesunyian malam

“Ya tuhan, baiklah semoga hilang satu nempel seribu, aku ikhlas bila dia dengan sepupuku…”

Sampai saat ini, perjalanan cintaku mengiri pertumbuhan penyakitku. Beberapa kali aku harus mengalah tentang rasa cinta yang sudah banyak kutulis di diary kecilku. Meski sakit, tapi aku yakin kebahagiaan sejati akan menjadi milikku kelak. Ya, walaupun entah kapan saat itu tiba.
Kini tubuhku terbaring diruang pengap ini, sesekali mendengar tangisan yang aku tak tau siapa dia. Dan ada juga yang selalu menggenggam tanganku yang membuatku hangat dan penasaran siapa dia. Sesekali terbuka dan terpejam. Sesekali merasakan sakit yang amat dahsyat dan kehangatan dari seseorang.
Hingga akhirnya, hari ini, Tuhan memberiku kesempatan untuk dapat membukakan kedua mataku. Aku melirik kearah seseorang yang tengah menggenggam tanganku. Aku mencoba mengamati sosok disisiku ini.
Rambut itu, alis mata ini, dia? Diakah?
Aku menggerakan tanganku perlahan, dan rupanya dia menyadari itu.
“Dinan, eh Alhamdulillah, kamu bangun juga,” kata Rama.
Dia? Benar-benar Rama? Dia benar-benar ada disampingku.
Mama dan papa yang sadar aku telah siuman menghampiriku, dan disamping mama juga ada Rasya. Papa segera memanggil dokter, sementara itu Rasya mendekatiku.

Rasya, kenapa kamu membiarkan Rama dekati aku?, bukankah Rasya suka sama Rama? Dan kenapa Rasya malah tersenyum seperti itu. Tuhan, ada apa ini? Rama kan sudah menjadi milik Rasya.
Rasya, dia memelukku sembari menangis. Dia mendekati telingaku sembari menunduk,

“Dinan, maafin aku yang ga respect sama perasaan sahabat sendiri. Please, ampuni aku, aku emang bukan sahabat yang baik. Tapi, sekarang kamu gausah khawatir, Rama, dia cuma sayang sama kamu ko. Dia bilang itu sama aku waktu dia ngedeketin aku. Dia pengen tau tentang kamu, Nan. Dan maafin aku, aku bahkan gatau tentang kondisi kamu, kalo aku tau, aku bakal jaga kamu baik-baik, Nan. Jangan dulu tinggalin kita, kita masih butuh kamu!”

Aku mengangguk tanda aku memaafkan juga mengerti. Tak lama, papa dan dokter sudah berada diruangan. Dokter mendekatiku dan mengecekku. Setelah itu dokter tampak mengajak papa untuk berbincang-bincang disudut ruangan itu. Ketika papa kembali menghampiriku,
“Aku bakal sembuh kan pa?” kataku lirih.
“Papa yakin, Tuhan bakal ngasih kamu rencana indah sayang.” kata papa, yang aku sadari kini ia sedang menahan tangisnya.

 Kini Rama meminta izin pada papa dan mama untuk bisa mengobrol denganku. Mama, papa, dan Rasya mengerti, lalu mereka meninggalkan kami berdua dikamar untuk sementara.
“Dinan, aku sayang banget sama kamu. Walaupun baru saat ini aku berani bilang. Maaf kalo ternyata waktuku sudah terlambat, maafin aku juga Nan, yang ga punya keberanian dan ngebuat kamu nunggu lama.”
Aku mencoba menatap dia walaupun penglihatanku sudah agak mengabur. Dia mendekatiku, dan mencium keningku.  Air matanya sempat terjatuh di keningku. Aku kini mencoba menggerakan jariku. Rama tampak memperhatikannya.
Ku bentukan jariku menjadi huruf ‘I’ yang mengartikan aku. Lalu kubuat jari telunjuk dan ibu jariku menjadi sebuah setengah bentuk hati. Dan yang terakhir kubentuk jari telunjuk dan ibu jari menjadi huruf ‘U’ yang mengartikan kamu.
Rama tersenyum bahagia, lalu ia berkata,

“I love you too, Nan.”

Tuhan, mungkin aku tak bisa merasakan kebahagiaanmu ini terlalu lama, tapi kini aku tau engkau itu memang maha adil. Mungkin aku perlu beberapa kali untuk mengalah. Meskipun sakitnya itu bagaikan terkena luka lalu disiram garam. Tapi, dari situlah aku tau akan ada seseorang yang lebih lebih baik dari target-targetku yang dulu. Sekalipun aku berhenti mengejar, aku tau ada saatnya seseorang mengejarku. Dan, akupun percaya kebahagiaan sejati akan dimulai untukku. Yah, walaupun waktuku ini  akan segera habis tentunya.

Tidak ada komentar: