(karya asli: Syifa Syafira A)
Dia terdiam. Aku menoleh kearahnya, “Udah?” tanyaku padanya.
Akupun hanya mengangguk, dan tersenyum simpul. Mencoba menutupi semburat merah yang kayaknya dari tadi udah keliatan sama fikri. Dodol emang.
Sampai saat ini, perjalanan cintaku mengiri pertumbuhan penyakitku. Beberapa kali aku harus mengalah tentang rasa cinta yang sudah banyak kutulis di diary kecilku. Meski sakit, tapi aku yakin kebahagiaan sejati akan menjadi milikku kelak. Ya, walaupun entah kapan saat itu tiba.
Rasya, kenapa kamu membiarkan Rama dekati aku?, bukankah Rasya suka sama Rama? Dan kenapa Rasya malah tersenyum seperti itu. Tuhan, ada apa ini? Rama kan sudah menjadi milik Rasya.
“Dinan, maafin aku yang ga respect sama perasaan sahabat sendiri. Please, ampuni aku, aku emang bukan sahabat yang baik. Tapi, sekarang kamu gausah khawatir, Rama, dia cuma sayang sama kamu ko. Dia bilang itu sama aku waktu dia ngedeketin aku. Dia pengen tau tentang kamu, Nan. Dan maafin aku, aku bahkan gatau tentang kondisi kamu, kalo aku tau, aku bakal jaga kamu baik-baik, Nan. Jangan dulu tinggalin kita, kita masih butuh kamu!”
Aku mengangguk tanda aku memaafkan juga mengerti. Tak lama, papa dan dokter sudah berada diruangan. Dokter mendekatiku dan mengecekku. Setelah itu dokter tampak mengajak papa untuk berbincang-bincang disudut ruangan itu. Ketika papa kembali menghampiriku,
Kini Rama meminta izin pada papa dan mama untuk bisa mengobrol denganku. Mama, papa, dan Rasya mengerti, lalu mereka meninggalkan kami berdua dikamar untuk sementara.
Dari
kejauhan, aku menatap sesosok berbadan tegap itu yang tak hentinya berlari
kesana kemari mengejar bola. Rama. Dia sosok yang ku maksud. Dia yang berhasil
membuat aku berharap lagi tentang cinta. Hal yang sangat absurd menurutku. Sebenarnya, aku belum jadian
dengannya. Ya, bagaimana jadian? Orang
dia saja tak tau aku.
“Dinaaaan,” teriak seseorang sembari
menghampiriku.
“Mmm, apa Sya?”
“Kamu lagi apasih? liatin siapa
hayooo?” Rasya menggodaku.
“Apaan siiih,” kataku menahan tawa.
“Oh, iya kemarin aku dianter sama
Rama loh! Tuh anaknya yang itu!”
Aku tersentak. Dianter? Aku coba
mengikuti arah telunjuknya agar Rasya tak tau bahwa aku sudah kenal, sudah
sangat tau bentuk fisik Rama sekalipun dengan menutup mata.
“Oh, yang ituu,” aku tersenyum, mencoba menutupi kekecewaan yang mulai merambat dihati.
“Iya, kece kaan? Hihi,”
Ya tuhan, jadi Rasya juga suka sama Rama. Apa mereka sudah jadian tanpa sepengetahuanku?
Kini
hatiku seperti piring pecah. Sahabatku menyayangi Rama. Sosok yang kuinginkan
saat ini dihidupku. Rasya memang tak tau akan hal ini tentang perasaan terpendamku.
Tapi.. Apa dia tak pernah menyadari, untuk apa aku meluangkan waktu istirahatku
hanya untuk melihat Rama? Tak pernahkah ia mengerti, Tuhan?
Tiba-tiba
penglihatanku mengabur, kepalaku terasa pusing, dan mulutku terasa mual. Aku
mencoba berdiri, namun yang terjadi selanjutnya aku kehilangan kesadaran.
***
Sudah
sering kali aku mengalami hal ini. Saat SMP contohnya,
Vicka.
Dia teman atau bisa dibilang sahabat pertamaku disekolah itu. Aku mengenalnya
saat upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa (MOS). Dia menyapaku dengan sangat
ramah. Makanya aku tak ragu untuk berkenalan dan bersahabat dengannya.
Ternyata
kamipun sekelas. Aku mengajak Vicka untuk duduk bersamaku. Setahun aku mengenal
dia. Setahun pula aku mengenal sekolah ini dan isinya. Kini akupun mulai
merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Aah, cinta monyet dasar!
Vicka,
dia lebih dulu mengenal cinta. Dia sudah beberapa kali gonta-ganti pacar.
Tampaknya dia lebih berani untuk menyatakan perasaanya dibanding aku.
Yaaah... tak seperti aku. Baru cinta pertama sudah dipendam gini. Bahkan bercerita pada
Vicka pun aku tidak berani. Tuhaan, Aku ingin memiliki. Tapi, aku takut seperti
orang lain. Takut patah hati. Akupun takut ditolak. Meskipun orang lain sering bilang aku cantik. Tapi, aku..
Ah sudahlah. Aku tak perlu banyak berharap. Apalagi saat ini aku, ah tapi,
akupun tidak yakin bahwa aku benar-benar mengidap, kanker.
***
Cinta
pertamaku jatuh pada Fikri. Dia kakak kelasku. Aku bertemu dengannya saat di
florist kakakku, Tami. Waktu itu, aku menjaga toko mengganti kakaku yang sedang
sakit. Udara memang sedang ekstrim-ekstrimnya. Bentar-bentar dingin, bentar
panas. Aneh. Saat ini saja contohnya, diluar sedang gerimis tapi aku masih merasa panas. Tiba-tiba pintu florist terbuka,
“Oh
ada pelanggan nih,” batinku.
Si
pembeli itupun mendekatiku. Aku terdiam sejenak, Seragam ini.. Kayaknya aku
kenal. Kulihat kearah badge nya, dan namanya. FIKRI.
“Mbak,
haloo, Mbak,” dia mengibaskan tangannya didepan mukaku. Aku tersentak dan
akhirnya tersadar dari lamunanku. Kini, aku agak gelagapan dibuatnya.
“Ah,
eh. MBAK?”
“Oh
hahaha maaf maaf, mm, disini jualan bunga mawar engga ya?” Tanya dia sambil
diiringi derai tawa.
“Iya. Mau beli berapa?” ucapku mencoba santai, padahal jantungku sudah mau
copot dari tadi.
“Kalo
seikat bunga mawar gitu, gimana? Bisa ga?” dia menunjuk bunga mawar yang berada tak jauh dari situ.
“Bisa.
Oh, iya mau pake kartu engga?” tanyaku sembari terus mencuri pandang kewajahnya.
“Boleh,”
Segera aku mengambil balpoint serta kartu pesan dilaci, “Oke,
mulai yaa. Gimana isinya?”
“Untuk
yang aku sayangi. Aku kangen banget nih…”
Yah, gajauh beda sama cowo lainnya. Pasti buat cewenya.
“
…Ma. Udah lama ga ngerasain masakan Mama, dipeluk Mama lagi. Kapan Mama mau
mampir ke mimpi aku? Sekedar nyapa atau ngebelai aku aja, Ma. Mama ga kangen ya
sama aku? Aku, Dean, sama Papa kangen banget sama Mama. Semoga Mama tenang ya
disana..”
Dia terdiam. Aku menoleh kearahnya, “Udah?” tanyaku padanya.
“Iya,
udah ajadeh segitu.” katanya sambil tersenyum.
Gosh!
Senyumannya maut gila. Tanpa aku sadari, aku membalas senyumnya. Bodoh, ngapain
malah bales senyum juga sih! Segera aku menenangkan diri dengan menanyainya,
“Oh
ya, kamu sekolah di SMPN 18 Bandung ya?”
“Ko
tau sih? Ah, liat badge yaaa,” katanya sambil menutup badge nya.
Sikapnya,
kurasa dia cocok untukku. Eh, apa? Maksudnya aku ngomong cocok? Jangan ngarep deh, Nan!
“Eh
engga, aku juga sekolah disitu tau,” mencoba mengelak tapi kurasa sudah gagal.
“Oya?
Kelas berapa? Ko aku ga pernah liat kamu ya?”
Duh,
ko jadi ber-aku kamu- gini sih. “Elaaah,
ketauan banget sih aku ga populernya? aku masih kelas 1, Kamu?”
“Hahaha,
calm down. Aku kelas 2.” Dia tertawa dan aku hanya mengutuki diri. Kelas
2? Mampus deh. Ga sopan banget ya, ga manggil kakak lagi.
Akupun
menunduk, pura-pura sibuk mengitung dan membereskan kembali pesanannya sambil
menyelipkan pesan itu diantara bunga mawar ini.
“Ka
Fikri, ini harganya segini dan ini bunganya.”
“Yaudah
nih. Eh tadi apa? Ka Fikri? Tau darimana nama aku? Waaah, ngeliat yaaaa,”
Mati
deh. Kenapa manggilnya pake ‘FIKRI’nya juga ya. Keliatan deh SKSD nya. Pokoknya
mati, mati, mati deh inimah!
Akupun hanya mengangguk, dan tersenyum simpul. Mencoba menutupi semburat merah yang kayaknya dari tadi udah keliatan sama fikri. Dodol emang.
Sejak
itu, aku mulai mencari tahu tentang kehidupan Fikri. Apa uname fb nya, juga
twitternya. Sejak saat itu pula aku jadi si tukang ngstalk- stalker nya Fikri.
Setiap hari aku pasti liat Timeline atau
wall di facebook nya. Hingga akhirnya
kadang aku harus nyesek juga ngeliat dia mentionan, atau wtw sama temen-temen
cewenya. Yah, mau gimana lagi? Emangnya aku berhak ngelarang dia? Kan aku
gapunya hubungan apapun sama dia. Tragis. Akhirnya aku berniat ingin
menceritakan ini pada Vicka. Namun saat itu,
“Hey,
Dinan. Ko diem disitu sih? Sinii,” panggil Vicka padaku.
“Ah,
mmm. Iya,” aku berjalan ragu. Hatiku berdegup kencang. Tuhan, tolong untuk saat
ini, biarkan aku bersikap seperti biasa saja.
“Nah,
Dinan kenalin, ini Fikri. Fikri, ini Dinan sobat baik aku.”
Dengan
agak ragu, akupun bersalaman dengannya.
“Hai
aku Fikri, plus pacarnya Vicka.”
Apa?
Kenyataan ini. Benarkah? Dia tersenyum padaku. Senyum itu. Senyum di florist
itu.Tapi, kini..
“Dinan,”
kataku sambil membalas senyumannya.
Kuharap,
dia ga inget waktu di florist deh, batinku mulai pasrah.
“Vick,
aku balik ke kelas duluan yaa,” kataku mencari
aman.
“Ih,
nanti atuh. Bentar lagi da.” kata Vicka
merengek.
“Aku
ada urusan penting nih, yaa,” kataku sambil mengedipkan mata.
“Huu,
iyadeh.” Vickapun pasrah.
Akhirnya,
aku meninggalkan mereka berdua. Tapi tadi, saat meninggalkan mereka. Aku sempat
mendengar walaupun agak sayup sayup.
“Vick,
kayaknya aku pernah ketemu sama Dinan deh. Tapi aku lupa, mm, dimana ya?”
Aaaah! Fikri.
Dan sampai saat itulah aku mulai menjauhinya.
Walopun diem-diem tetep liatin TL sama statusnya. Dan diem-diem nyesek saat aku
harus nganter sobat sendiri ketemuan sama –mantan-gebetan sobatnya a.k.a pacar
resmi si Vicka.
Kejadian kayak gini rupanya ga cukup sekali di hidup
ku. Setelah 4 bulan berhasil nyari-nyari target gebetan, dan voila ada! Si
target bernama Fariz, dia anak temen nyokap. Dia suka nganterin nyokapnya ketemu
nyokap aku. Biasalah ibu-ibu gawl gitu dan yang jadi kena keganasan mereka ya
anak-anak nya. Gatau dengan tujuan apa ya, ibu-ibu itu ngajak anak mereka buat
nemenin mereka kalo akhirnya ditelantarin juga. Eh tapi, bagi aku ada untungnya
sih, kan jadi bisa kenal sama Faris.
“Nah, sementara ini kamu maen sama Faris ya, Nan!
Sambil nunggu sepupu kamu tuh,” kata Mama sambil mendorong ku pelan mendekati Faris.
“Yah, Ma! Aku ikut kedalem dong, Maaaa,”
“Tenang aja Dinan, Faris baik ko ga bakal gigit,
tante jamin deh.” Mamanya Faris, tante Sarah menenangkanku.
Dan akhirnya aku menyerah.
Ah parah! Mama ga peka banget sih. Udah tau
anaknya suka gelagapan kalo sama cowo. Apalagi cowo kece gini,
“Nama kamu Dinan ya?” Tanya cowo yang giginya
berbehel itu.
“I-iya. Haiii, salam kenal yaa,” kataku dengan nyoba
menarik otot pipiku.
Tuhkan, apa yang sekarang dipikirannya coba ya?
Aku nyoba mejamin mata. Mencoba berharap semoga ini
cuma sebatas mimpi, tapi ternyata aku malah merasakan mual. Aku membungkam
mulutku lalu segera aku berlari ke arah toilet. Ah, penyakit ini!!
Sesaat setelah aku kembali, aku melihat satu sosok
perempuan sebayaku yang berada disamping Fariz. Dia Siska, sepupuku. Fariz
menghampiriku dengan muka cemas.
“Kamu tadi kenapa, Nan? Kebelet?”
JEDUAAARRR,
“Ah, iya tadi aku pengen pipis. Kebelet. Hehe,”
Nih cowo, cakep-cakep tapi bego kayaknya. Pfff.
Setelah kejadian itu, anehnya aku makin tau dia,
makin kenal dia, dan sering ketemu. Walaupun sebenernya bukan janjian kita
berdua, melainkan janjian nyokap-nyokap kita. Namun, dia lebih sering bertanya
soal Siska, sepupuku itu. Sampai akhirnya kode itupun!
“Eh, Nan. Siska single apa in relationship ya? tau
ga? Hehe,” tanyanya sambil malu-malu.
APA? SISKA? DIA LAGI SINGLE KO! TERUS, MAU
LO APA, RISS?
“Ehehe, kurang tau tuh. Single kayaknya,”
Dan, dari situ aku tau dia suka sama Siska, ga perlu berlama-lama pula, mereka jadian!
Sekali lagi aku berdoa ditengah kesunyian malam
“Ya tuhan, baiklah semoga hilang satu nempel seribu, aku ikhlas bila dia dengan sepupuku…”
Dan, dari situ aku tau dia suka sama Siska, ga perlu berlama-lama pula, mereka jadian!
Sekali lagi aku berdoa ditengah kesunyian malam
“Ya tuhan, baiklah semoga hilang satu nempel seribu, aku ikhlas bila dia dengan sepupuku…”
Sampai saat ini, perjalanan cintaku mengiri pertumbuhan penyakitku. Beberapa kali aku harus mengalah tentang rasa cinta yang sudah banyak kutulis di diary kecilku. Meski sakit, tapi aku yakin kebahagiaan sejati akan menjadi milikku kelak. Ya, walaupun entah kapan saat itu tiba.
Kini tubuhku terbaring diruang
pengap ini, sesekali mendengar tangisan yang aku tak tau siapa dia. Dan ada
juga yang selalu menggenggam tanganku yang membuatku hangat dan penasaran siapa
dia. Sesekali terbuka dan terpejam. Sesekali merasakan sakit yang amat dahsyat
dan kehangatan dari seseorang.
Hingga akhirnya, hari ini, Tuhan
memberiku kesempatan untuk dapat membukakan kedua mataku. Aku melirik kearah
seseorang yang tengah menggenggam tanganku. Aku mencoba mengamati sosok
disisiku ini.
Rambut itu, alis mata ini, dia?
Diakah?
Aku menggerakan tanganku
perlahan, dan rupanya dia menyadari itu.
“Dinan, eh Alhamdulillah, kamu
bangun juga,” kata Rama.
Dia? Benar-benar Rama? Dia benar-benar ada disampingku.
Mama dan papa yang sadar aku
telah siuman menghampiriku, dan disamping mama juga ada Rasya. Papa segera
memanggil dokter, sementara itu Rasya mendekatiku.
Rasya, kenapa kamu membiarkan Rama dekati aku?, bukankah Rasya suka sama Rama? Dan kenapa Rasya malah tersenyum seperti itu. Tuhan, ada apa ini? Rama kan sudah menjadi milik Rasya.
Rasya, dia memelukku sembari
menangis. Dia mendekati telingaku sembari menunduk,
“Dinan, maafin aku yang ga respect sama perasaan sahabat sendiri. Please, ampuni aku, aku emang bukan sahabat yang baik. Tapi, sekarang kamu gausah khawatir, Rama, dia cuma sayang sama kamu ko. Dia bilang itu sama aku waktu dia ngedeketin aku. Dia pengen tau tentang kamu, Nan. Dan maafin aku, aku bahkan gatau tentang kondisi kamu, kalo aku tau, aku bakal jaga kamu baik-baik, Nan. Jangan dulu tinggalin kita, kita masih butuh kamu!”
Aku mengangguk tanda aku memaafkan juga mengerti. Tak lama, papa dan dokter sudah berada diruangan. Dokter mendekatiku dan mengecekku. Setelah itu dokter tampak mengajak papa untuk berbincang-bincang disudut ruangan itu. Ketika papa kembali menghampiriku,
“Aku bakal sembuh kan pa?” kataku
lirih.
“Papa yakin, Tuhan bakal ngasih
kamu rencana indah sayang.” kata papa, yang aku sadari kini ia sedang menahan
tangisnya.
Kini Rama meminta izin pada papa dan mama untuk bisa mengobrol denganku. Mama, papa, dan Rasya mengerti, lalu mereka meninggalkan kami berdua dikamar untuk sementara.
“Dinan, aku sayang banget sama
kamu. Walaupun baru saat ini aku berani bilang. Maaf kalo ternyata waktuku
sudah terlambat, maafin aku juga Nan, yang ga punya keberanian dan ngebuat kamu
nunggu lama.”
Aku mencoba menatap dia walaupun
penglihatanku sudah agak mengabur. Dia mendekatiku, dan mencium keningku. Air matanya sempat terjatuh di keningku. Aku
kini mencoba menggerakan jariku. Rama tampak memperhatikannya.
Ku bentukan jariku menjadi huruf
‘I’ yang mengartikan aku. Lalu kubuat jari telunjuk dan ibu jariku menjadi
sebuah setengah bentuk hati. Dan yang terakhir kubentuk jari telunjuk dan ibu
jari menjadi huruf ‘U’ yang mengartikan kamu.
Rama tersenyum bahagia, lalu ia
berkata,
“I love you too, Nan.”
Tuhan, mungkin aku tak bisa merasakan kebahagiaanmu ini terlalu lama, tapi kini aku tau engkau itu memang maha adil. Mungkin aku perlu beberapa kali untuk mengalah. Meskipun sakitnya itu bagaikan terkena luka lalu disiram garam. Tapi, dari situlah aku tau akan ada seseorang yang lebih lebih baik dari target-targetku yang dulu. Sekalipun aku berhenti mengejar, aku tau ada saatnya seseorang mengejarku. Dan, akupun percaya kebahagiaan sejati akan dimulai untukku. Yah, walaupun waktuku ini akan segera habis tentunya.
Tuhan, mungkin aku tak bisa merasakan kebahagiaanmu ini terlalu lama, tapi kini aku tau engkau itu memang maha adil. Mungkin aku perlu beberapa kali untuk mengalah. Meskipun sakitnya itu bagaikan terkena luka lalu disiram garam. Tapi, dari situlah aku tau akan ada seseorang yang lebih lebih baik dari target-targetku yang dulu. Sekalipun aku berhenti mengejar, aku tau ada saatnya seseorang mengejarku. Dan, akupun percaya kebahagiaan sejati akan dimulai untukku. Yah, walaupun waktuku ini akan segera habis tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar