Minggu, 28 Juli 2013

Digital Love


    Ada beberapa hal yang membuat jantung setiap orang berdebar dan berdetak tak menentu. Seperti; Menunggu kelahiran seorang anak, menunggu hasil test, atau menunggu si dia putus dengan pacarnya. Tapi ini semua bukan tentang itu, yang sama hanya pada kata menunggu. Kali ini aku tak hentinya menelan ludah untuk menurunkan kegugupan. Sudah kubaca puluhan kali notes yang telah kutulis di ponsel ini untuk kuberikan padanya nanti. Wajib kamu ketahui bahwa sekarang aku tengah menunggu seseorang. Seseorang yang belum pernah kutemui secara langsung sebelumnya didunia nyata –di kehidupanku sehari-hari.

      Perkenalan dan obrolan yang sering kami lakukan selalu dibatasi sebuah layar, entah itu layar ponsel atau laptop. Sebenarnya aku takut melakukan ini, dan menurutku hal ini memang sangat konyol. Tapi apa boleh buat ketika sahabatku –Manda, terus merajuk padaku untuk mencari pacar lewat jejaring sosial saja, akhirnya aku mengalah dan mengikuti pendapatnya. Sejak saat itu kejadian-kejadian aneh bermunculan. Mulai dari om-om yang menyamar menjadi lelaki berusia 19 tahun, lalu ketika aku dipermainkan oleh lelaki asal Malaysia yang rupanya teman sekolahku, sampai-sampai pikiran para pria yang haus wanita itu sering banyak menggangguku. Namun, dibalik semua itu, ada beberapa yang dengan sebuah kebetulan, aku menemukan seseorang yang asyik kuajak chatting dan membicarakan hal apa saja yang ada dipikiran kita masing-masing. Sayangnya untuk sekedar bertatap muka di skype dan meneleponku sampai tengah malam tak pernah kami lakukan.

     Tubuhku mulai terasa pegal, kemudian aku mencoba bangkit berdiri dan mendekati jendela yang memang letaknya hanya 3 langkah kekiri dari tempatku duduk. Kulihat langit malam tak menebarkan bintang seperti biasanya, ini membuat hal-hal negatif meracuni pikiranku. Otakku mulai membayangkan rencanaku malam ini akan berujung sia-sia lagi. Aku berbalik badan melihat ke arah pintu masuk. Sudah berapa lama aku disini? Mungkinkah ia tidak mau menemuiku?

     Tak lama kemudian, seorang lelaki berkacamata hitam dan memakai kemeja putih selengan itu muncul dan melambaikan tangannya padaku. Aku tak dapat bereaksi apa-apa. Aku bertanya-tanya mungkinkah dia. Namun outfit yang tengah ia pakai sama dengan apa yang ia beritahu tadi sore. Setelah melihat-lihat kesegala arah memang dialah yang hanya melambaikan tangannya padaku dan memang hanya aku satu-satunya wanita yang memakai dress putih berenda selutut. Kemudian aku segera meraih kursiku dan segera menjatuhkan bokongku disitu. Aku melirik lagi kearahnya dan rupanya ia semakin mendekat.

     Ketika ia tiba didepan meja, wangi dari parfumnya semakin menyegakkan indera penciumanku. Otakku terasa pusing mendapat rangsangan aroma maskulin seperti ini. Kini kulihat ia yang menatap wajahku sembari tersenyum. Deretan gigi putihnya berjejer rapi selaras dengan lengkung dari senyum yang ia buat. Namun ada yang aneh padaku, terlebih jantungku. Hampir saja aku mati kehabisan napas karena menahan napas ditatapnya seperti barusan.
          
        “Kamu cantik.”

     Rasanya saat ini pipiku seperti terbakar sampai-sampai ingin kugunakan daftar menu yang kupegang untuk mengipaskannya didepan pipiku. Aku menggigit bibir kuat-kuat. Aku ingat bahwa sedari tadi aku belum juga mengucapkan kalimat sapaan padanya. Tapi rasanya kaku, hatiku mulai meragu. Rasanya ini bukanlah waktu yang tepat untuk membuka segalanya.

     Diam-diam akupun memperhatikannya. Wajahnya sama seperti di foto; memiliki hidung bangir, dua kelopak mata yang bulat, dan tentu senyumnya yang mempesona. Dihadapkan langsung seperti ini, aku bagai terbius dan tak mampu berucap kata. Ah apa tadi? Berucap kata maksudmu? Oh ya, sebelumnya aku ingin mengenalkannya pada kalian. Ijal adalah korban digital love ku yang ke 6. Belum cukup banyak memang. Maksudku karena dari 6 itu, yang usianya setara dekat denganku hanya ada 2. Yaitu saat teman se-sekolahku dan yang saat ini. Yang lainnya? Banyak yang usianya sudah menginjak 30-an keatas. Mengerikan memang. 

“Ayolah kamu tak biasanya diam begini, kalau di ym biasanya suka debat panjang lebar. Aku komentar gini, dibantah gini.”

      Aku terperanjat dari lamunanku. Kemudian yang tercipta hanya sunggingan tipis dari bibirku.
      
           “Yasudah, kupikir aku lapar. Sudah pesan sesuatu?”

    Aku menggeleng pelan. Kemudian ia melihat daftar menu yang ada dihadapannya. Iapun memintaku untuk memesan sesuatu untuk dimakan. Rupanya aku agak bingung. Makanan disini memang bukan tipe lidahku. Semua menu disini menyajikan masakan-masakan eropa yang aku tak tahu mana yang akan pas dengan lidahku. Resto ini memang Ijal yang memilih, dan aku hanya menyetujuinya saja.

Ijal melihat kearahku, mungkin ia menangkap raut kebingungan yang tergambar jelas dari kerutan dikeningku.

            “Yang ini saja ya?” tanyanya kemudian.
        Akupun mengangguk.

    Acara makan malam ini cukup hening. Saat makan mungkin ia menungguku untuk mengajaknya membicarakan sesuatu, terlihat dari cara ia yang sering melirik kearahku dan kemudian menjatuhkan pandangannya lagi ke makanan.

            “Ternyata benar katamu, kalau asli ketemu begini kamu itu diem mulu. Ga bawel kayak waktu chat.”

     Aku tertawa pelan.

            “Ayo dong, aku bete nih. Kamu jahat belum nyapa aku. Jadi berasa kayak ngomong sama patung tau.” Ucapnya kini yang meraih jariku. Digenggamnya rapat-rapat jariku.

   Aku kaget. Aku menghela napas panjang dan dengan segala kekuatan lahir dan batin aku mulai menggerakan tanganku. Ia melihatku dengan tatapan aneh. Aku mengulang kembali ucapan maafku yang ku ucapkan lewat bahasa isyarat itu.

            “Tunggu, sebelumnya maafkan aku. Apa kamu tak dapat berbicara?”

     Genggaman tangannya yang hangat kini mulai melonggar. Sebersit rasa kecewa muncul diantara degupan yang tadi berkecamuk. Sedikit demi sedikit, yang kurasakan hanyalah rasa takut. Aku tak ingin menatap kearahnya karena saat ini itu terlalu menyakitkan untuk mengungkapkan semuanya.

   Aku menunduk dan tak terasa buliran air mata itu berjatuhan dengan sendirinya. Ponsel yang tengah kupegang saat itu kuserahkan pada Ijal. Aku tak dapat melihat reaksi apa yang ia perlihatkan,

            Maafkan aku,
     Aku tidak bermaksud untuk membodohimu atau mencurangimu. Ada beberapa hal yang masih aku ingin sembunyikan padamu, karena aku memang sudah sangat sering sakit hati dengan penolakan dari berbagai pria yang dulunya ingin jauh lebih mengenal diriku. Saat aku menemukan kamu, ada sesuatu yang lain yang lebih kurasakan dari sekadar teman mengobrol. Kurasa kamu tau apa maksudku. Dan ketika kamu memintaku untuk bertemu denganmu, sejujurnya aku senang sekali tapi ini juga menjadi dilema untukku. Namun, ketika itu aku berpikir dengan sangat keras sampai-sampai kau tau? Aku lupa tugasku yang kemarin kau bantu lupa kukerjakan. Hatiku berbicara bahwa aku harus mengatakannya. Dan, aku akan mengatakannya malam ini.  

     “Olive, terimakasih untuk kejujuranmu padaku.”

Tubuhku menegang mendengar suaranya kembali. Aku menaikkan wajahku, dapat kulihat kini senyumnya lagi –namun, kali ini terlihat lebih tulus.

            “Aku ingin kamu juga tahu bahwa perasaanku juga sama. Aku sayang padamu, Liv.”

     Belum hatiku ini yang porak poranda terasa gempa, tiba-tiba terdengar gebrakan meja dari arah depan mejaku. Seorang wanita muda dengan memakai blazer merah itu mendekati meja kami. Ada sesuatu yang ganjil ketika aku melihat reaksi dari  ijal yang langsung shock seperti melihat setan.

            “Jal, kita putus!” bentak wanita itu pada Ijal. Lantas wanita itupun segera pergi meninggalkan kami.

            “Sha-shani..”

     Ijal bangkit dari kursi dan mencoba untuk menyusul wanita tadi. Dan pada akhirnya, aku ditinggal sendiri. Setelah menyaksikan drama yang mungkin akan memiliki rating tertinggi karena ke-naturalan para pemainnya. Aku terus mengusap pipi yang basah, sembari membayar makanan yang telah kami pesan tadi. Tanpa perlu bertanya lagi nanti, aku sudah menduga wanita tadi adalah kekasihnya. Wanita tadi padahal begitu cantik, namun wajahnya tadi begitu keruh oleh rasa amarah.

     Akupun masih termenung. Digital love, mungkin untuk orang sepertiku. Walaupun aku sudah kuat untuk terus ditinggalkan tapi ada saatnya aku ingin dipertahankan. Otakku memberikan respon bahwa apa yang terjadi saat ini impas. Aku memang tak pantas mendapatkan seseorang yang baik ketika akupun tak baik, sama seperti aku tak bisa mendapatkan orang jujur ketika akupun melakukan kebohongan juga. Kupikir, digital love bukan cara terbaik menemukan cinta bagiku. Setelah membayar aku langsung pulang. Hendak mencari tempat terbaik untukku mengeluarkan sesal. Untuk menangis sebisa yang aku bisa. Dijalan aku tak langsung naik taksi, aku terdiam menunggu hujan yang memang telah turun sejak 5 menit yang lalu.

            “Mba, mau pakai payung saya?”

   Aku melongo, segurat senyum akhirnya tercipta kembali diwajahku. Hujan masih saja turun, dan aku masih saja disana, bersama seorang pria yang kembali terlihat nyata dihadapanku.

a short story by: Syifa Ghifari.


Tidak ada komentar: