Ketika kamu memberikan pertanyaan pada Allah, maka lambat
laun Allah beri jawabanmu. Tinggal kamunya aja, mau nyadar atau enggak?
Semenjak menginjak SMA, alhamdulillah aku memutuskan untuk
istiqomah dalam berhijab. Allah pun memberiku lingkungan yang mendukung. Siapa
sangka waktu itu bisa deket sama anak-anak yang dulunya sekolah di Islam
Terpadu dan Pesantren? Mereka pun merupakan anggota rohis yang insyaAllah
sikapnya terjaga, beberapa kulihat ada yang ‘bandel’ sih hehe. Aku sendiri
bukan anak rohis meskipun teman-temanku rohis. Aku memilih belajar jurnalisme
kala itu, namun di jurnal pun alhamdulillah lingkungannya aman. Sama seperti
anak-anak SMA lain, kami merasakan gejolak perasaan. Bedanya sikapku dulu
sewaktu SMA dan SMP, semasa SMA perasaan itu gak serta merta membuat aku
menggebu memiliki seseorang. Pun yang kusukai kala itu tentu yang makin baik
akhlaknya sehingga mikir beribu kali buat suka sama dia. Jelas lah, banyak juga
yang ngomongin dia. Hahaha.
Naik ke kelas 11, alhamdulillah karena fondasi dari kelas 10
berteman dengan orang-orang yang tepat jadi pas kelas 11 pun masih memegang
rasa malu. Sekarang kusadari, jika aku seorang ibu yang memiliki anak
perempuan, maka aku harap Allah masih menyimpan rasa malu pada tiap anak
perempuan. Meskipun menurut beberapa orang dan ‘sempat’ menurutku bahwa rasa
malu itu negatif dan gak boleh begitu, lambat laun hal tersebut kusikapi dengan
positif, rasa malu itu sesuatu yang berharga saat ini. Hanya saja pada beberapa
kondisi aku masih tidak istiqomah (mohon do’anya ya). Kembali lagi, sewaktu aku
kelas 11 lagi-lagi menyukai seseorang. Kali ini aku tau dia susah kugapai,
bagai bintang yang sempurna. Sering kutemukan ia Dhuha, dan karena itulah aku
menaruh rasa. Kupikir sulit menemukan yang sepertinya. Banyak kejadian semasa
SMA yang qadarullah melibatkan aku dan dia. Aku sendiri sih nyadar banyak
kejadian antara aku sama dia, tapi gatau tuh dianya. Aku mengganggap dia
spesial, dia itu berteman dengan siapapun terutama sering jadi tempat bertanya
cewek minus aku. Tapi dia gak pacaran, dan itu yang buat dia spesial menurutku.
Dikala cowok-cowok yang lain di SMA semudah itu gonta ganti cewek.
Perasaan itu bertahan lama, sampai pengumuman kelulusan
akupun akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menyimpan rasa apapun padanya.
Kupikir hidupku dan hidupnya tidak akan pada arah yang sama lagi. Saat itu kami
belum menemukan kampus, penentuannya ada di sbmptn nanti. Namun saat pengumuman
sbmptn itu alhamdulillah aku lolos, dan dia tidak. Kami sama-sama punya mimpi
ke kampus yang sama, namun kami sama-sama beda jalur. Aku lolos tapi bukan ke
kampus yang dia inginkan, dan dia lolos pada kampus yang tidak dia inginkan.
Tetapi karena hal inilah sesuatu terjadi.
Beberapa bulan kemudian kami menjadi akrab. Aneh, tapi Allah
memang Maha Baik. Aku sangat bersyukur sempat diberikan waktu mengenal dia, pun
dari dia aku semakin dekat dengan Allah baik itu dalam syukur dan sedih. Aku
selalu penasaran apakah dia akan mencoba lagi ke kampus impian itu atau
melanjutkan kehidupannya saat ini. Dalam hening malam, kusisipi ‘semoga’
terbaik untuknya. Pikirku, ‘dia yang bisa kutitipi mimpiku berada di kampus
sana’. Setahun itu kami berbagi mimpi, dan aku masih jatuh hati apalagi ketika
tau dia mencintai daarut tauhid. Kalo dibaca memang seperti hubungan ala-ala
syar’i hahaha. Tapi kami gak pernah membicarakan ibadah kami masing-masing.
Kala itu obrolan apapun bisa kami makan bersama meskipun orang pikir kami dari
dunia yang berbeda. Obrolan dengan bahasa kami saja. Haha.
Kemudian sebuah kabar baik sampai, rupanya Allah beri dia
kado kampus impiannya. Aku awalnya senang karena dia bisa memiliki peluang
masuk jurusan yang aku incar, jadi semacam senang bisa menitipkan diriku yang
lain disana. Namun perasaan lain menyeruak, aku bilang pada sahabatku tentang
salah satu kekhawatiranku,
“Aku takut dia lebih mencintai salman dibanding daarut
tauhid”.
Beberapa kali aku meyakini hati, tak apa toh sama-sama tempat baik.
Dari situ kami masih saling bercerita dan aku senang melihat
dia seperti telah menemukan rumah. Dulu dia begitu antipati terhadap kampus
namun di kampus barunya dia mau aktif. Dia telah baik-baik saja disana.
Pada Ramadhan 1438 H, tetiba aku memikirkan usiaku yang akan
menginjak 20 tahun. Kupikir harus ada sesuatu yang berubah dari diriku,
termasuk tentang perasaanku padanya. Jujur selama aku merasa dekat dengan dia,
beberapa kali aku ragu. Pun sejak mengenal dia saat SMA aku merasa tidak pantas
dan seringnya perasaan diri sendiri yang terluka. Ini benar-benar menjadi
pelajaran untuk sahabatku dan anakku nantinya. Saat ramadhan tahun 2017, aku
memutuskan benar-benar meminta petunjuk kepada Allah. Seperti do’a-do’a kalian
pada umumnya, ‘Ya Allah jika dia baik semoga lancarkan. Jika dia jahat
jauhkanlah dariku Ya Allah.”
Saat itu aku benar-benar tak tau, benar-benar buta bagaimana
dia disana. Dan sebenarnya kita memang buta di dunia ini jadi harus terus
meminta bimbingan Allah. Sepanjang waktu yang ku mampu dan ingat, aku selalu
meminta agar Allah bimbing aku. Selain itu saat ramadhan aku berdo’a supaya
bisa ke Mekkah di usia 20 tahun. Sekitar sebulan setelah ulangtahunku di bulan
September, tepatnya bulan oktober aku memutuskan buat lepasin atribut cerita
dia dari diary. Perasaan yang dirajut dengan asal-asalan itu akhirnya ku lepas
dari jarumnya. Sudah tidak mampu kurajut, kupikir begitu. Dan memang dari
ramadhan itu aku diberi petunjuk terus menerus, sempat aku berpikir itu adalah
pembenaranku. Tapi ketika hati merasakan hal yang hanya bisa kau pahami, maka
yakinilah hati kamu itu. Desember 2017, aku semakin yakin dia berpacaran dengan
perempuan sana.
Aku sempat membuat tulisan untuknya berupa kekecewaanku,
yang tentu pada laman yang hanya kami yang tahu. Dia pun pada lebaran kemarin
sempat meminta maaf atas segala sikapnya. Ada yang menarik, pada desember 2017
itu kami sempat chatting lagi dan membicarakan tentang ‘minta maaf’ jelasnya
adalah perasaan kita ketika kita dikecewakan lalu orang lain itu meminta maaf
pada kita. Dan memang betul, meskipun kita memaafkan tetap saja akan ada yang
berbeda setelahnya.
Aku sempat sedih, kecewa, kesal. Tapi itulah jawaban, itulah
tanda sayang Allah. Banyak hal yang bisa kuambil hikmah dari perjalanan
perasaan tersebut. Amat banyak, alhamdulillah Allah masih memberiku bimbingan
ditengah hati yang kalut dan resah. Dan dari merelakan tersebut, Allah kasih
aku hal lainnya yang belum tentu aku dapatkan dengan hati yang masih condong
pada dia.
Aku amat senang bisa mengenalnya dan selalu ku semogakan
yang terbaik untuknya.
Asal tahu saja, lelaki yang visinya dalam bimbingan Allah, tak pernah membuat program kerja yang namanya pacaran. Sebab ketaatan adalah prinsip utama hidupnya. - Felix siauw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar