Beda
itu Kita dan Cinta.
Karya:
Syifa Syafira Alghifari
Angin menerjang
tubuhku yang masih berdiri tegap didepan laut. Mataku terpejam sembari
mengulurkan tangan kananku yang kukepal karena menggenggam sesuatu. Butiran abu
itu kugenggam sedemikian erat sehingga sedikit demi sedikit abu itu terjatuh ke
bawah menyatu dengan air laut. Aku membuka mata, dan akhirnya aku hanya menatap
kosong ombak yang sedang bergulung-gulung. Tak kusangka, acara itu telah
selesai. Acara ngaben, acara yang menurut mereka adalah suatu kebahagiaan,
karena telah selesai bertanggung jawab akan jasadnya. Aku tak mampu menangis
lagi, karena rupanya air mataku sudah habis semenjak 7 tahun yang lalu, saat ia
pergi meninggalkanku.
***
Sudah
puluhan kali, sepanjang aku berumur 20 tahun, aku dan keluargaku berlibur pergi
ke Bali. Memang, kadang bukan hanya karena liburan melainkan lebih banyak
karena urusan keluarganya. Tujuan penerbanganku kali ini tak lain menuju Bali. Tetapi,
berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Kali ini, aku pergi kesana tidak membawa
urusan keluarga. Ini benar-benar sebuah liburan, dan beruntungnya lagi aku
hanya pergi sendiri kesini. Mengasyikan bukan? Yah, ini memang belum waktunya
untuk libur semester. Aku tak keberatan walaupun nanti aku mesti keteteran
tugas kuliah saat aku kembali ke Surabaya.
Jarak
penerbangan dari Surabaya ke Bali tak cukup lama, kurang lebih hanya 30 menit.
Sedari tadi, aku terus berkhayal memikirkan tempat apa saja yang harus kutaklukan
seminggu ini. Ah, tak henti-hentinya dalam hati aku mengucap syukur.
Tante
Prameswari, atau biasa kupanggil Tante Ame ini mengajakku liburan dirumahnya,
tepatnya didaerah Uluwatu, Bali. Dan
tentu, dengan senang hati aku mengiyakan ajakannya. Awalnya, seperti biasa ayah
menentangku untuk terbang ke Bali sendirian. Tetapi, karena aku memaksa dan
berkat bantuan Tante Ame juga yang akhirnya membuat Ayah kalah.
Akhirnya
aku sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai dengan selamat. Setelah itu segera kutelpon
agen mobil sewaan yang biasa aku gunakan ketika disini. Tak sampai sejam, mobil
yang kupesan telah sampai. Maka dengan wajah yang penuh semangat aku berlari
masuk ke dalam mobil tersebut.
“I’M READEEH BALEEH!”
Aku
tak langsung menelpon Tante Ame mengenai aku yang sudah berada di Bali. Karena,
jiwa petualanganku mencuat seketika, tepat ketika melihat beberapa baligho
besar bergambar pantai-pantai indah itu. Tanpa pikir panjang akhirnya aku
segera memerintahkan pak Candra, sang supir agar pergi ke pantai yang paling
terkenal di Bali. Yap, Kuta.
Saat
didalam mobil, aku tak pernah merasa bosan menatap jalanan Bali. Melihat
rumah-rumah dengan pura disetiap rumahnya. Ciri khas yang sangat eksotik.
Ditambah suasana yang tak begitu panas layaknya Surabaya, membuatku mulai
merasa betah.
Akhirnya
pak Candra memarkirkan mobilnya ke sisi jalan. Kini dapat kulihat disisi kiri
mobilku banyak orang berlalu lalang, kulihat juga banyak butiran pasir
dijalanan. Bibirku mengembang, aku memang telah sampai di pantai Kuta. Pak
Candra kutinggalkan disana, aku merasa dia sudah dapat kupercaya setelah tadi
dijalan aku mengobrol dengannya ngalor-ngidul.
Aku hanya membawa tas yang berisi dompet
beserta alat kosmetik yang biasa aku bawa. Dan mulailah aku menelusuri pantai.
Walaupun panas matahari terasa menembus baju lengan panjangku, tapi aku masih
merasa adem karena mungkin efek dari
hatiku juga yang sedang mood. Sepuas
berjalan-jalan menelusuri pantai, aku pun merasa lelah sehingga mataku mulai
berkeliling mencari tempat duduk yang
pas untukku beristirahat. Beruntungnya, disini banyak sekali kursi berjemur
yang disewakan dimana-mana.
Kupilih
salah satu tempat untukku beristirahat. Sesekali angin pantai membuat mulutku
menguap sampai beberapa kali. Dan entah, pada detik berapa kemudian akupun
terlelap. Aku tersadar kemudian ketika suara telfon yang berasal dari tante Ame
membangunkanku. Ia bertanya padaku apa benar kalau aku sudah berangkat dan
sudah sampai di Bali. Sesegera mungkin aku mencari mobil yang kusewa, dengan
pak Candra dan barang-barangku yang ada didalam mobil tadi. Namun, mungkin
ingatanku memang buruk. Aku lupa arah jalan pulang. Dan mungkin inilah yang
membuat ayah tak mau membiarkanku untuk bepergian sendiri. Kemudian secercah
cahaya masuk menerangi kebuntuanku, aku ingat saat kami mengobrol, aku telah meminta
nomor telepon pak Candra.
Tanpa
pikir panjang, segera ku telfon nomor pak Candra, sambil mencoba berjalan pelan
mengingat-ngingat jalanan mana yang sudah aku lalui. Namun, nomor yang
kuhubungi itu tak terus diangkat. Aku merasa cemas dan akhirnya aku
menghentikan langkahku. Aku melihat sekeliling, terdiam sesaat lalu tiba-tiba
aku ingat tempat ini. Tempat dimana, tepat disamping pintu masuk itu pak Candra
menurunkanku. Dan kini, mobil itu hilang. Juga pak Candra yang tak juga
mengangkat telfonku.
Saat
aku terdiam dengan wajah masam, seseorang menghampiriku. Seorang laki-laki
memakai pakaian khas bali, kukira bli
ini berumur 40-an. Dia seorang tour guide
yang juga banyak berseliweran di daerah ini. Ia mendekatiku lalu bertanya
dengan bahasa inggris. Ingin sekali aku tertawa. Namun, kucoba untuk menahan
tawaku yang mungkin akan membuatnya tersinggung atau merasa aneh. Lalu
kujelaskan secara panjang lebar padanya tentang kronologis bagaimana aku yang
akhirnya bisa tak tau dimana tempat aku turun. Kemudian, setelah aku selesai menjelaskan,
ia hanya terdiam dan segera meminta maaf karena tak bisa membantuku. Rupanya,
ia juga tengah menjalankan tugas, karena kulihat tak jauh dari sini ada
sepasang turis asing yang memanggil namanya beberapa kali dari kejauhan. Ia
memohon pamit padaku dengan tanpa secercah informasi sedikitpun untukku. Aku
menghela nafas dalam, lalu diam kembali.
Beberapa
menit kemudian, aku melihat satu sosok lelaki muda. Mungkin dia seumuran
denganku. Dia mengenakan pakaian seperti tour
guide lagi. Ia tersenyum menghampiriku.
“May
I help u?” tanyanya.
Aku
termangu sendiri. Rupanya, dia juga mengiraku turis asing seperti bapak tour guide tadi. Lalu, aku tersenyum
geli padanya.
Aku
memang mempunyai dua campuran darah dan bangsa. Ayahku berasal dari turki dan
ibuku adalah asli Bali. Aku mendapati hidung mancung ini dari Ayah, dan rambut
hitam panjang ini juga mata cokelat dari Ibu, namun kebanyakan tubuhku ini
terdapat gen dari Ayah, dan aku menduga karena itulah mereka tadi berbicara
inggris kala bertanya padaku.
“Ah? Ini, aku kehilangan mobil sewaan ku. Aku rasa, tadi aku turun
disini. Tapi, setelah aku kembali, mobil itu hilang. Apa kau tau?” tanyaku
balik.
Mata sipitnya menatapku lekat. Aku
tau bahwa ia merasa kaget. Tersirat sekali dari cara ia menatapku.
“Hey?!”
Dia lalu tersadar, “Kamu bisa fasih
berbicara bahasa Indonesia?”
“Iyadong. Eh ya, sekali lagi. Apa bli tau dimana mobil yang parkir
disini?”
Dia mengangguk cepat-cepat. “Ayo,
aku anterin.”
Aku kaget campur senang. Kaget
karena, secepat itu dia mengerti maksudku dan senang juga bila ia benar-benar
tau mobilku berada.
Bli
ini akhirnya mengajakku menaikki motor matic merahnya yang tak jauh dari sini.
Ia memberikan helm padaku dan setelah itu aku naik dibelakang joknya. Motorpun mulai
melaju dengan perlahan karena rupanya suasana Kuta sudah mulai ramai sekali
dibanding tadi saat aku datang jam 3 sore. Disaat malam, memang daerah Kuta lah
yang paling ramai, karena disini terdapat berbagai jenis café, bar dan
restaurant yang isinya dominan turis asing.
20 menit kemudian, setelah
berkeliling sebentar, aku-dan bli ini-
berhasil menemukan pak Candra yang ternyata sedang pulas tertidur dibalik
jendela mobil. Aku segera mengetuk-ngetuk kaca. Setelah kuketuk beberapa kali,
pak Candra berhasil kubangunkan. Kulihat semburat malu terlihat diwajahnya yang
mendapatiku di sisi mobil dengan wajah keruh.
Tadinya, aku akan segera menyerocos
panjang lebar pada pak Candra. Baru aku ingat kemudian, bahwa masih ada bli muda yang dengan baik hati mencari
mobilku ini disini. Tiba-tiba aku terkekeh pelan sendirian. Kukira, sejak awal
dia memang tau dimana letak mobilku, ternyata dia menawariku tumpangannya untuk
mencarinya. Tapi, beruntunglah, karena aku juga tak tau harus bagaimana kalau
dia tidak ada.
Aku mengulurkan tanganku di
depannya,
“Raiana dev,” ucapku kemudian. Namun, yang terjadi dia hanya menatapku lama. Dia
membiarkan tanganku menggantung diudara selama beberapa menit. Hingga
lama-kelamaan, saat tanganku mulai terasa pegal. Aku segera berbalik dan segera
masuk ke dalam mobil. Sebelumnya aku sempat setengah berteriak mengucapkan
terima kasih. Dan setelah itulah, dia sadar dan meneriakkan sebuah nama yang
baru di otakku.
“Wira. Nama aku Wira, Rai!”
***
Hari ini, adalah hari kedua di Bali.
Aku masih mengingat kejadian kemarin dan juga masih mengingat ekspresi khawatir
dari tante Ame. Berbeda dengan anaknya, Sarah yang katanya merasa tenang-tenang
saja mengetahui aku yang pelupa ini belum juga ada di rumahnya. Justru ia
khawatir pada mamanya karena mamanya itu terus saja mondar mandir kesana kemari
dihadapannya. Tapi, dibalik sikap Sarah yang kalem, ia bisa sangat bersemangat
bila membicarakan urusan cinta. Yah, namanya juga remaja.
Sarah, dia adalah anak pertama tante
Ame yang merupakan mahasiswa baru di Universitas Udayana. Sejak kecil kita
memang sudah sangat akrab. Meskipun, kita jarang bertemu karena tempat kami
yang terpisah oleh selat Bali. Dengan
umur yang hanya berbeda 1 tahun, kami mudah berbagi cerita apapun satu sama
lain. Bisa menjadi kakak, adik ataupun teman.
“Sarah, ajak aku ke mana kek!
aku kesini kan mau liburan. Tapi, kalau sendiri kan ga asik juga.” Ujarku
padanya sembari bertopang dagu diatas kasur.
Sarah menengok kearahku. “Tapi, aku
ada kuliah nih,”
Hatiku mulai sedikit kecewa. Bibirku
mengerucut, “Sampe jam berapa?”
Ia menatapku kasihan. Buku-buku yang
ia pegang sedari tadi ia letakkan. Sarah menghampiriku, lalu ia duduk ditepian
kasur. “Jam 10 an kayaknya, tapi aku usahain deh.”
“Yaudah,
nanti kamu nyusul ya ke pantai Balangan ya!” perintahku dengan semangat.
“Iyadeh, asal nanti traktir makan
siang aja yaa,”
Aku mengacungkan jempolku atas-atas.
Tak apalah uang tabunganku terkuras. Yang penting, aku dapat menikmati
liburanku seindah mungkin.
***
Sesudah bersiap-siap membawa tas dan
alat-alat kebanggaanku –kosmetik- lainnya, aku segera meminta pak Candra ke
pantai yang akan aku tuju. Namun, saat dijalan, perutku tiba-tiba berbunyi
dengan sangat keras. Sampai kulihat pak Candra yang tertawa pelan didepanku.
Maka dari itu, aku segera meminta
pak Candra untuk mencari rumah makan dengan label halal terdekat. Agak lama
memang. Mungkin, bisa hampir 2 jam mencari rumah makan untuk muslim disini.
Beruntung pak Candra memang sudah tau betul tempat-tempat untuk orang sepertiku.
Maka hanya dalam 1 jam aku mendapatkan rumah makan yang aku pinta. Lalu, aku segera
melangkah keluar dan kini dihadapanku ada seseorang yang kukenali. Tanpa
perintah langsung dari otakku, mulutku terbuka.
“Hai, Wira!”
Lelaki berkulit cokelat dan berwajah
tirus itu menengok kesamping.
“Hei, Raia?”
Lalu aku mengajak dia untuk masuk ke
dalam sana. Dan akhirnya terjadilah percakapan yang begitu menarik diantara
kami berdua. Kini aku tau, bahwa Wira berumur 1 tahun lebih tua dariku, dan
kini ia kuliah di tempat yang sama dengan Sarah, yaitu di Universitas Udayana.
Bedanya, ia mengambil Teknik Informatika dan sekarang semester 6. Dia juga
bilang bahwa ia sudah menjalani profesi tour
guidenya ini sejak awal menjadi mahasiswa, katanya lumayan untuk menambah
uang semester.
Diakhir
obrolanku, setelah aku makan. Wira mengajakku ke pantai Balangan. Pantai yang
memang menjadi tujuan pertamaku hari ini. Aku sempat menolak, dengan beralasan
takut mengganggu dia yang sedang bekerja, namun rupanya ia tak pantang menyerah
membujukku. Pada akhirnya, aku meminta pak Candra pulang yang artinya aku
menyetujui ajakan Wira.
Aku
tau, pantai ini diapit oleh dua pantai yang sama indahnya, yaitu Jimbaran dan
Dreamland. Lokasi pantai ini, lumayan jauh dari tempat kami bertemu. Jalan raya
ke lokasi, jaraknya lumayan jauh. Namun, semuanya terbayarkan dengan keindahan
pantai yang tersedia. Hamparan pasir putih kecokelatan yang landai dan garis
pantai yang cukup panjang. Membuat siapapun akan merasa takjub. Kulihat, disini
hanya banyak turis asing dan juga peselancar yang tengah asyik bermain dengan
ombak.
Disini,
kami berjalan-jalan menyusuri pantai. Juga, bercerita satu sama lain. Entah
mengapa, setiap dia mulai tersenyum atau tertawa, ada begitu banyak kupu-kupu
yang menggelitik isi perutku. Pipiku kadang merah merona kala ia dengan jujur
memuji diriku. Aku tak tau bagaimana dan kapan itu muncul. Aku hanya mengerti
apa yang aku rasa saat ini. Yaitu, cinta.
***
Malam itu, setelah menghabiskan hari
di Pantai Balangan, Wira mengantarkanku pulang menuju rumah Tante Ame. Kami
sampai sekitar setengah 7 dan waktu itu Sarah marah padaku karena ia tak
mendapatiku di tempat yang sudah kami janjikan. Tapi, Sarah memang –agak- baik
hati. Ia tak lantas berlama-lama bersikap dingin padaku, setelah aku
membujuknya dan bercerita tentang Wira ia segera bersemangat mendengarkan
ceritaku. Sarah memang yang paling tau soal percintaanku selama ini, ia rupanya
mengendus sesuatu yang ganjil saat aku bercerita tentang Wira dengan senyum
yang selalu terselip di akhir kalimatku.
“Rai, kamu masih sama si Zolla kan?”
tanyanya dengan tatapan serius.
Aku sempat mencoba mengalihkan
pandanganku. Namun rupanya Sarah segera mengikuti arah mataku tertuju. Akhirnya
aku menjawab, “Iya, memangnya kenapa? Wira saja tak masalah dengan itu.
Lagipula, aku tengah break dengan
Zolla.”
Sarah menatapku, “Kenapa lagi sih?
Kamu belum cerita tentang ini padaku. Biasanya, ga telat. Lagian, emang pacaran
itu ada istirahatnya ya? Bukannya maksud dari break itu.. putus?”
Tubuhku mematung. Tiba-tiba bayangan
Wira muncul sekelebat. Memberikan suatu pencerahan.
“Sarah,
apa harus terus semua hal yang bisa kuanggap ini aib hubunganku, sesuatu yang
tak ingin lagi aku ceritakan pada semua orang harus aku ceritakan. Ini juga
bukan saja salah Zolla, ini karena aku yang terlalu sering ingin dimengerti.”
Mata Sarah mengerjap sedemikian
kali. “Waah! Kamu udah sadar ya Rai?”
Rupanya, ia terkagum-kagum pada
kata-kata yang aku ucapkan. Padahal ucapanku tadi, sepenuhnya adalah copyan
dari nasehat Wira. Entah kenapa, setiap kata dari Wira pasti aku selalu ingat.
Beda dengan nasehat-nasehat dari Ayah atau Ibu yang memang langsung terhapus
dari memoriku.
Kembali
lagi aku mengingat Wira yang bahkan, setelah ia tau bahwa aku sudah punya
pacar, ia masih saja mau menghiburku dan mendengarkan segala keluh kesalku
tentang Zolla. Tapi, pada akhirnya, aku jugalah yang merasa malu, karena dia
berhasil membuat aku mengakui bahwa aku ini memang bawel, terlalu ingin dimanja
saat Zolla sedang sibuk. Wira membuka hatiku dan menuntunku sehingga akupun
bisa ikut masuk bersama. Menyelami makna sebuah hubungan yang semestinya.
Aku
jadi teringat lagi, percakapanku kemarin saat aku mengajaknya ke Pantai
Padang-Padang. Ia duduk disebelahku sambil memegang kedua lututnya dan
memandang ke depan. Kala itu, senja tengah menjadi latar kami.
“Jadi, apa kamu sudah punya pacar?”
tanya Wira tiba-tiba.
Aku
tersenyum kecil. “Kalau sudah, gimana?”
“Ya
tak mengapa. Aku masih aku, kamu masih kamu.”
Liburan ini cukup
menghibur dikala aku dan pacarku tengah break.
Aku tak pernah menyangka kalau ternyata, disini aku dapat merasakan sesuatu
juga yang membuat aku nyaman dan aman. Aku tau, tak pernah aku berpikir untuk menjalin
sesuatu yang lebih dengannya. Kami memendam semua rasa diantara kesadaran akan
perbedaan yang begitu tegak menjulang. Sebuah agama yang tak mungkin kami
ingkari masing-masingnya. Juga, sesuatu hal yang tak bisa aku lepas yaitu
Zolla. Cinta, hanya sebuah rasa yang
tercipta diantara kedekatan, kesepian dan sebuah kenyamanan. Cinta, tak harus
memiliki bukan?
Aku
dan dia sama sebenarnya, tak saling menuntut apa-apa. Aku atau dia bagaikan
iklan yang hanya hadir dalam beberapa detik saja dalam televisi kehidupan
masing-masing. Tapi, aku berharap, hubungan pertemanan kami tak sampai disini.
Tak terasa esok hari, aku harus kembali ke Surabaya. Ia bilang padaku, kalau
aku sedang di Bali, aku harus memberitahu Wira.
***
Malam ini, ia berencana membawaku ke
Pantai Jimbaran. Ada sebuah petromak dengan ukuran sedang yang ia bawa di bawah
motornya. Aku berpikir, apa yang akan dilakukannya kali ini. Tapi, aku tau ia
takkan pernah mencoba macam-macam padaku. Buktinya, ia tak pernah berani
menggandeng tanganku. Saat ia tak sengaja menyentuh lenganku, ia lantas meminta
maaf setelahnya.
Motor kami berhenti disebuah tepian
jalan. Didekat sini memang banyak restoran-restoran seafood khas pantai Jimbaran.
Aku masih menunggunya ketika ia akhirnya berhasil menyalakan petromaknya itu.
“Ayo!” ajaknya kemudian.
Aku sontak kaget, namun segera
kuhilangkan pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba muncul.
Angin malam memang menyegarkan,
namun angin malam di pantai sungguh membuat terasa ngilu. Rasanya angin itu
masuk dan menusuk kedalam tulang rusukku. Beberapa kali aku merutuki diri yang
so jagoan tidak memakai jaket. Kaos lengan panjangku rupanya tak mampu menahan
angin. Beruntung kaki panjangku tertutup rok panjang yang cukup
menghangatkanku. Dia melirik kearahku lalu menatapku,
“Dingin, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. Lalu adegan
selanjutnya ia melepaskan jaket tebalnya itu. Aku khawatir ketika beberapa
menit kemudian ia terlihat bergidik, mungkin menggigil. Seolah dapat membaca
pikiranku, ia berucap.
“Aku udah biasa ko dingin-dinginan,”
Aku hanya tertawa kecil dalam hati.
Kemudian, kami duduk di sisi pantai. Kini kami saling diam sehingga yang
terdengar hanya suara-suara dari kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Juga
suara deburan ombak yang ada dihadapan kami. Tak enak dengan suasana seperti
ini, aku mencoba membuka mulut lebih awal.
“Ga kerasa, ini hari terakhir aku
disini—”
Namun,
belum aku melanjutkan kalimatku, ia berdehem dengan sangat keras sehingga membuatku kaget.
“Jadi, kamu gabakal kesini-sini lagi
gitu?” tanya Wira tanpa menatapku.
“Ah ya, salah. Maksud aku, ini hari
terakhir aku liburan disini. Hari terakhir aku ketemu ka—”
Dia berdehem lagi. Kini, aku
menatapnya menunggu pertanyaan apa lagi yang akan keluar dari mulutnya.
“Jadi, kamu gabakal mau ketemu sama
aku?”
Aku tertawa geli. Belum sempat aku
menjawab, dering dari ponselku berbunyi. Segera aku meraih iphone yang berada
dalam tasku. Kubaca tulisan yang berada dilayar ponsel. Aku menghela napas
dalam-dalam.
Cukup lama, aku menerima telpon.
Agak tak enak juga kala suaraku yang meninggi didengar juga dilihat oleh Wira
yang tepat berada di sampingku. Telpon ini tak lain dari Zolla. Saat ini,
diwaktu yang tidak pas ini, aku bertengkar dengannya dari telpon di depan Wira.
Rupanya, ia telah menelponku beberapa kali juga sms sedari siang. Dan aku, lupa
membalas salah satu dari pesan singkatnya itu. Dia bilang ia khawatir, takut,
dan hal-hal yang kupikir lebay untuk seorang lelaki.
Setelah kututup telpon dari Zolla,
aku segera bercerita pada Wira. Namun, lagi-lagi ia membuatku menyesali sikapku
tadi pada Zolla. Benar, Wira bilang perempuan itu katanya ingin dimanja,
dimengerti, diperhatikan tapi saat mereka mendapatkan itu semua bahkan lebih,
apa yang ia dapat kemudian? Tak lain hanya ungkapan kesal karena terlalu protect lah, dsb. Tak hentinya rasa
kagumku itu surut. Aku semakin malas saja untuk pulang ke Surabaya. Namun,
apadaya, malam ini adalah malam terakhir aku disini. Lebih baik, aku
menggunakannya sebaik mungkin, sehingga yang kubawa esok hari adalah kenangan
indah.
***
Esok harinya, aku segera pulang ke
Surabaya. Dan di Surabaya aku diteror banyak
pertanyaan oleh pacarku, tapi aku sudah merasa malas dengan dia. Rasanya aku
sudah merasakan banyak perbedaan dengan Zolla. Aku dan Zolla berbeda 4 tahun. Ia
telah 2 tahun menjadi anak buah Ayah yang memang sangat dipercaya di
perusahaan. Zolla begitu mencintai Bola, sedangkan aku tidak. Aku begitu
mencintai fashion sementara ia tidak. Ia selalu berkata formal sementara aku
tidak. Ah, bukankah sudah sejak awal kami berbeda?
Hingga akhirnya, siang ini kami
segera bertemu di sebuah mal.
“Aku
sudah tidak nyaman, Rai. Sebaiknya, kita putus saja.” Ujarnya tiba-tiba.
Aku tertohok, dan tanpa permisi aku
segera pergi dari situ juga tanpa berkata sepatah katapun, kecuali mengumpat
keras-keras dalam hati.
Setelah itu, aku segera menceritakan
pertengkaranku pada Wira lagi. Dia memberiku beberapa saran. Dia memang benar,
dikala kita mencintai seseorang, pasti kita berpikir atau tepatnya
membandingkan sesuatu yang awalnya beda, pada akhirnya menjadi sama. Dan dikala
cinta itu semakin lama, kala rasa itu semakin memudar. Kita semakin tau bahwa
banyak sekali perbedaan didalam hubungan yang telah dijalaninya. Demikian
itulah cinta. Wira bilang, ujian sebuah hubungan berada di ditengah. Bagaimana
kita tetap mempersatukan perbedaan yang sudah kita toleransi pada awal, saat
kita sudah yakin menetapkan sebuah hubungan. Mengalah itu, adalah sebuah
keikhlasan yang menyenangkan jika kamu ingin melihat seseorang yang kamu
sayangi bahagia.
Andai Wira itu adalah—
Ah,
Ya Allah, aku bingung.
***
Aku
menunggu di sebuah stasiun. Tak ada dia yang kutunggu. Sampai senja terlihat
oleh kedua mataku pun tidak. Namun, tatkala aku membalikan badan. Aku tersontak
kaget. Dia sudah mematung disana. Beberapa senti didepanku. Kulihat, pelipisnya
berdarah. Tapi, kami malah mengobrol dengan asyiknya. Dan seolah-olah darah
yang menetes di pelipisnya itu tak akan berakibat apa-apa untuknya. Ia masih
bisa tersenyum dengan manis.
Wira menggenggam tangganku erat. Tak
seperti biasanya ia berani seperti ini. Kini, justru aku menikmatinya. Lalu,
aku memejamkan mata. Dan, sesuatu yang
kugenggam itu terasa hilang dan lenyap. Kubuka mata cepat-cepat dan dia sudah
pergi. Aku berteriak kencang saat melihatnya yang masih tak jauh dari sini,
akan tetapi suaraku lambat laun hilang. Sampai rasanya, leherku terasa sakit.
Mataku terbuka. Aku terbangun dengan
perasaanku yang tak karuan juga dalam keadaan keringat dingin yang membasahi
tubuku yang diselimuti badcover. Ini memang, bukan 1 atau 2 kali aku memimpikan
Wira. Kini, setelah 5 bulan aku meninggalkan Bali. Bayang Wira selalu hadir,
namun kali ini berbeda. Karena, ini membuatku ketakutan dengan hati yang sudah
tak menentu.
Dan
ternyata, esok harinya aku dikabari bahwa dia. Wira, meninggal dunia.
***
7 tahun kemudian.
Begitu
banyak orang disini, aku tentu berada diantara keluarga Wira. Kali
ini, ada sekitar 3 orang yang akan di ngaben. Semuanya berasal dari satu
keluarga besar Wira. Setelah diarak, acara ngaben pun dimulai. Asap tebal
mengepul ditempat itu, lalu suara retakan kayu dan bara-bara api menyembul
keatas, menggemeletuk. Membuat aku merasa ngilu. Sudah pasti aku menangis, tak
rela tubuhnya harus dibakar begitu saja. Namun, segera aku dibawa pergi oleh Sarah.
Ia menjelaskan padaku, bahwa tak seharusnya aku menangisinya, karena itu tidak
akan baik untuk Wira. Begitupun untuk Zolla yang kini sudah menjadi suamiku.
Setelah acara penaburan abu selesai.
Aku segera kembali ke Surabaya dengan membawa sebuah kenangan yang membuatku
pilu. Aku ingat obrolanku dirumah Wira bersama Ibunya tadi siang. Bahwa dulu,
Wira menitipkan sebuah kotak yang bentuknya sama seperti kotak yang ada di
dalam mimpiku sebelum aku mendapati Wira meninggal. Tanganku begitu gemetar
saat itu ketika mulai membaca secarik surat yang berada di dalamnya.
“Aku
bersedia jadi mualaf jika itu akan menyatukan kita. Raiana dev, menikahlah
denganku..”
Terima kasih telah membaca cerpen
saya,
Jangan
copas, atau berani ngejiplak hasil pemikiran orang lain. Keep writing, J
2 komentar:
:( aaakkk... nge-nyes ceritanya. tempat kenangan, kotak kenangan, dan orang yg hanya tinggal kenangan.
Akhirnya ada yang baca lagiiii :'') terharu maksimaal
Posting Komentar