Minggu, 14 Juni 2015

Ada yang lebih tabah dari bulan Juni


Ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, ialah ia, yang terus mencintaimu, meski kau tak pernah menyadari, dan selalu berjaga dalam kesedihan dan kebahagiaanmu.

Kembali, hujan mengguyur permukaan bumi setelah berhenti beberapa jam yang lalu. "Hujan di Bulan Juni…" Icha tersenyum-senyum sendiri saat mengucapkan kalimat barusan. Sudah 4 bulan ini ia memikirkan seseorang yang membacakan puisi karya Sapardi Djoko Darmono itu.

Betapa tidak ia langsung jatuh cinta, Icha yang amat mencintai sastra itu akhirnya bisa sekali jatuh pada orang yang bahkan tak ia kenal. Icha bercerita saat ia mengikuti lomba Bulan Bahasa di kotanya, ia bertemu dengan seseorang yang hingga kini terus ada dibenaknya. Saat itu ia juga membacakan puisi Hujan di bulan Juni. Icha terus mencuri pandang sembari menanti nomor lelaki itu untuk naik panggung. Dan 2 orang peserta setelahnya; yaitu setelah Melia, dan Zahra. Lelaki itu membacakan puisi, yang seolah-olah balasan dari puisinya.

Ialah yang menggeletar dalam doa-doamu, tanpa pernah kau menyadari, dan kau pun tentram karena merasa ada yang selalu menjagamu

Setelah kejadian itu, Icha diam-diam tertarik pada Hilmi. Ia berharap bisa tetiba dipertemukan kembali. 
Ia berdoa trus menerus pada Tuhan.

Tanpa pernah kau menyadari, ia diam-diam menjelma bayanganmu, hingga bahkan pun dalam sunyi kau tak lagi merasa sendiri.

Icha berharap saat mereka dipertemukan, itu merupakan waktu yang sudah tepat.

Ia, yang sungguh lebih tabah dari hujan bulan Juni, selalu berbisik lembut di telingamu, meski kau tak pernah menyadari, dan seluruh kenanganmu menjadi hangat dalam ingatan

Icha bercerita padaku, bahwa ia masih menunggu nama Hilmi itu hingga saat ini.

Saat kau terisak menahan tangis, ia yang lebih bijak dari bulan Juni, merasuk ke dalam dadamu yang disesaki duka, hingga kau semakin memahami: betapa airmata mencintai orang yang paling dicintainya dengan cara menjatuhkan diri

Ia jugalah yang menyelusup ke paru-parumu, tanpa sekali pun pernah kau menyadari, ketika kau mendadak tersengal oleh entah apa, dan segalanya tiba-tiba saja menjadi terasa lega

Walaupun dia tau, Hilmi yang ia lihat waktu itu tak pernah kembali pada tahun-tahun berikutnya.

Ketika senja, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tanpa pernah kau menyadari, meruapkan hangat ke dalam teh yang tengah kau nikmati pelan-pelan, hinga kau merasakan sore begitu damai dan menentramkan

Ia jualah yang terus duduk di sampingmu, tanpa pernah kau menyadari, menemanimu dengan sabar memandangi cahaya senja yang perlahan memudar, dan kau bersyukur pada segala yang sebentar

Namun, sesungguhnya penantian yang Icha tunggu tak pernah terjadi. Icha tak pernah tau bahwa ia sebenarnya..

Dan ketika kau tidur, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tak lelah berjaga: dihapusnya debu kecemasan yang berguguran dalam mimpimu

Tengah bermimpi.

Ada yang jauh lebih tabah dari hujan bulan Juni, lebih bijak, dan lebih arif, tetapi kau tak pernah menyadari, meski selalu ada di kesedihan dan kebahagiaanmu, karena ia tak henti-henti mencintaimu

"Sekarang bulan Juni telah sampai, cintaku pun rupanya masih sama. Hanya saja, aku harus merelakan dirinya yang telah pergi." ucap Icha, padaku malam itu.

Tidak ada komentar: