Rabu, 11 Februari 2015

Cinta Semusim

source: kawaiibeautyjapan.com
Mataku masih asyik menatap awan, rerumputan yang masih berembun, deretan kelas yang masih kosong, juga lorong depan kelasku yang dapat kulihat dari bawah karena letaknya yang berada dilantai 2. Seperti biasa, 06.05. Selalu diwaktu yang sama kulihat Pak Rusdi, salah satu pegawai kebersihan di Rocher High School tengah membersihkan bagian depan kelasku itu. 
            Suasana diseluruh penjuru Rochis –read: Rocher High School- kala pagi memang menenangkan. Bagaimana tidak, sekolah menengah atas dengan fasilitas sarana yang lengkap itu didukung lingkungan yang hijau disetiap sudutnya. Sekolahku ini memang sedang menggiatkan kegiatan bertema Green School, apalagi beberapa bulan lagi ada sebuah award dari sebuah Perusahaan Swasta Internasional tentang sekolah berbasis lingkungan. 
Sengaja kulangkahkan kakiku pelan-pelan saat menuju kelas, sembari menghisap aroma bunga yang baru diguyur hujan semalam. Tetiba kurasakan seseorang menepuk bahuku. Kemudian tangan itu mencengkram bahuku, menjaga agar aku tak langsung pergi. Langkahku terhenti, lalu bulu di pundakku meremang ketika telingaku dibisiki sesuatu.
            “Rok kamu, ritsletingnya masih kebuka.”
            Seketika pipiku memanas, mungkin sekarang rona kemerahan sudah terbias dikulit yang masih lembab itu. Aku masih berdiri mematung, kemudian wajahku di tatap oleh seseorang yang kuduga ia adalah orang yang menepuku tadi.
Ia bertanya, “Lo malu?”
            Damn...
            Aku mendorong pelan tubuhnya kesamping kanan. Lalu tanpa pamit -setelah melorotkan sedikit jaket yang kupakai- segera ku berlari menuju kelas. Sungguh, sebenarnya aku ingin bersikap biasa saja.
            Sesial-sialnya, selama ini aku selalu berharap bagian dari tubuhku tak pernah ada yang melihatnya, namun tadi dengan mudahnya, dan sudahlah! Entah kenapa harus hari ini, disaat aku tak memakai boxer. Dan betapa aku sangat ingat apa yang kupakai hari ini, segitiga ajaib bermotif hati dimana-mana.
                        Walaupun disekolahku ada petugas kebersihan, entah kenapa Para Guru tetap ngotot agar menanamkan rasa gotong royong lewat piket kelas. Namun nyatanya, dibanding harus berdepresi ria dan berkeringat ria, mereka lebih memilih membayar denda meskipun sekali piket itu dendanya Rp. 50.000,- Benar-benar!  Seperti saat ini, seharusnya ada 4 orang yang ikut membantuku membersihkan kelas. Nyatanya, hanya ada Riani si Ketua kelas yang super bawel itu ditemani Ahmad, pacarnya. Dan mereka seperti memiliki dunia ini. Padahal tepat 100 meter dari mereka aku tengah diam-diam mentap mereka.
Setelah menyapu, Segera kuangkat keset yang berat itu dan kubaringkan di atas tembok. Sembari meluapkan kesal, ku pukul-pukul keset itu dengan ganas memakai sapu. Namun, tanpa diduga, keset yang kupukul terdorong begitu kuat. Melihat apa yang akan terjadi, kucoba raih bagian terakhir dari keset itu. Tapi terlambat. Hal yang paling aku khawatirkan adalah jika keset itu jatuh menindih orang. Dan, mungkin Tuhan masih ingin melihatku tertawa sendiri nanti malam.
            Terdengar teriakkan seseorang. Ku terka-terka apakah ia perempuan atau laki-laki. Namun, suaranya agak nyaring. Aku mengintip namun betapa kagetnya hatiku begitu tahu siapa yang menatapku kini.
            “Eh sini lo.”
Aku masih bersembunyi, sementara Riani mulai memaksaku untuk segera menemui orang dibawah.

            ***
Aku tak pernah mengerti bagaimana cara orang dipertemukan lalu bagaimana mereka bisa sampai akrab. Aku tak mengerti, bagiku yang selalu menutup diri, untuk bisa berteman dengan orang populer  disekolah. Aku tak mengerti, Tuhan akan buat cerita apa untukku?
            “Lo mesti nemenin gue besok.”
            “O-oke.”
Maka jika kalian percaya perpisahan adalah awal suatu cerita. Maka kini sudah seharusnya kalian melepas kalimat itu dari otak kalian. Karena pertemuanku adalah sebaliknya. Ini adalah awal. Dia adalah awal bagiku menjadi segalanya.

            Aku membaca nama di bukunya pelan,
            “Ke-Ke-Kenal. Kenal?”
            “Bukan kenal, tapi Kemal.”
            “Ajarin gue Kimia!”
            “Kan lo IPS, buat apa belajar kimia?”
            “Suka-suka.”
            Kemudian entah kapan Kemal meninggalkanku sendiri disini bersama buku Kimia sewaktu dia kelas 10. Tanpa permisi aku membuka lembaran demi lembaran buku tulisnya dan disana terselip beberapa kertas ulangan Kimia sewaktu kelas 10. Aku tertohok, melihat banyak nilai sempurna yang ia dapatkan.

            Bakal gue tanyain ke Fasha ah, bener-engganya. 


          ***

            “Fasha, lo kemal kenal?” tanyaku dengan lafal yang salah.
            “Apaan?”
            Aku menepuk dahiku pelan,  “Maksud gue, kenal kemal?”
            “Oh, iya. Kenapa?”
            “Dia dulu sekelas sama lo kan? Gimana di kelasnya?”
            “Supel juga pinter loh.”
            ***
           Ketidakpercayaanku pada Kemal pun sirna, sejalan ketika ia yang justru sering memarahiku tentang dasar kimia. Lama-kelamaan aku mulai mengenal dia, sosok sempurna dimata orang yang rupanya banyak memiliki ketakutan-ketakutan kecil yang menggelikan. Seperti takut dengan kecoa terbang ataupun cicak buntung. Tanpa kusadari pun aku mulai sering memperhatikan dirinya, dan kebiasaan kecilnya. Seperti saat ini, saat dia berpikir, pasti pensil atau pulpen di genggamanya akan ia ketukkan pada dahinya.  
            Kemudian aku merasakan keanehan pada wajahnya.
            “Mal, wajah lo pucat gitu. Makan dulu gih!"
            “Gue baik-baik aja ko! Eh, nanti gue paling langsung keruang KIR ya, soalnya mau ngerjain sesuatu."
            “Oke deh.”

***

            Ah begitu melelahkannya hari ini. Bekerja kelompok dan tertawa bersama dengan teman-teman perempuan. Kemal benar, aku harus memulainya sebelum terlambat. Dan sebagai rasa terima kasihku selama ini, sepulangnya aku langsung menuju sekolah lagi walaupun hujan telah turun beberapa menit yang lalu dan aku hanya berharap ia masih ada di ruangan KIR. Tapi setelah kutunggu sampai jam setengah 6 sore, aku akhirnya memutuskan pulang. Bodohnya, sesampainya dirumah, harusnya aku tahu hari itu tidak ada kegiatan Ekskul KIR. Hatiku menjadi tak enak, juga jantungku yang terlalu sering cepat berdetak. Aku gelisah. Entah karena apa.
Entah perasaanku saja atau tidak, selama aku kenal dia, kadar kesialanku berkurang.

             Mengapa aku tidak bertemu dengannya dari dulu. Ada orang yang begitu perhatian dan mengerti hatiku. Entahlah sahabat, teman, atau teman tapi mesra? Dia yang mengajariku untuk tidak menarik diri dari pergaulan. Bahkan mengajarkan bagaimana cara berdandan.
            Aku tau dan sadar dalam sebuah pertemanan dengan lawan jenis selalu ada perasaan. Tapi aku lega,
            “Kemal, bantuin gue ngerjain ini..”
            “Ga mau, pasti lo pengennya gue buatin. Bukannya kerjain sendiri.”
            “Yaudah ah, lo bukan lagi temen gue.”
            “Bagus deh, karena gue gamau jadi temen lo.” sahutnya dengan tersenyum lebar.
            Aku menatapnya aneh, “Ih jahaat!”

            Sebagai langkah menghilangkan sifat introfetku, aku juga mulai membuka jejaring sosial. Memang asalnya aku sudah punya facebook, tapi belum mengenal jejsos bericon burung itu. Dan, lagi lagi Kemal yang menyuruhku untuk membuat akun twitter. Tak masalah sebenarnya. Mungkin karena newbie, aku hanya memfollow Kemal. Ah, Kemal Ditiya, sore tadi..
Menunggu waktu, tweetnya dia. Dia jarang ngetweet sampai aku komentari pun dia jarang membalas.
            
***

            Panas.
            Musim pancaroba telah tiba. Baru saja tadi aku keluar kehujanan karena membeli bahan memasak, eh, sekarang suhunya sudah naik lagi.  Sekarang aku tengah membaca buku resep makanannya lagi karena rencananya besok aku dan Kemal akan memasak bersama. Setelah mencoba masakannya tempo dulu, aku yakin dia akan berhasil mengaajarkanku masakan ini. Tapi, sejak tadi pagi, aku tak melihatnya dimanapun.
            "Fasha, Kemal masuk sekolah ga?"
            "Dia ga sekolah."
            
Kini sudah 1 minggu lebih, aku penasaran. Aku, teman dikelasnya, dan sekolah pun tak tau kemana Kemal. Hingga 1 minggu kemudian,
            Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, teman kita Kemal Ditiya telah pulang ke rahmatullah.

            Iya, aku telah tau itu sejak pukul 5. Dan setelah tau aku segera ke rumah sakit dimana ia dirawat.
            “Tante kenapa ga ngasih tau pihak sekolah sih kalau Kemal ga masuk itu karena sakit. Apa tante mau saat Kemal sembuh dia dikeluarin dari sekolah?”
            “Untuk apa? Kemal sudah tak ada sekarang!”
            “Tante.. kumohon tabah. Maksudku, setidaknya semua siswa bisa mengirimkan do’a demi kesembuhannya. Kumohon tante jangan ulangi lagi. Tante tau, do’a itu penggerak terbesar sebuah usaha.”
           
            Kemudian aku keluar dari keramaian ruang Kemal menuju kursi dekat loket administrasi. Dalam diam aku menyadari, bahwa kini aku mengerti maksud tweetnya.
          
            Kurasa itu bukan untukku. Itu penggambaran dirinya, bahwa ia tengah menunggu mautnya. Aku menyadari 1 hal, yaitu 'hal yang paling sakit adalah kau mengetahui ia mencintaimu saat ia sudah tak ada daripada kau mengetahui ia tak mencintaimu saat ia ada'.

            Aku meremas surat itu. Surat yang kudapatkan dari Resi, teman sebangkuku, berisi tiket kursi menonton dari Kemal, dan disana ia bertanya,
            “Will you be a part of my heart? If yes, take this. I’ll be waiting for you”
           
            Tanggalnya sama ketika tweet itu di posting. Sama ketika aku pulang sore kehujanan mengerjakan tugas kelompok. Sama ketika aku menunggunya juga, namun, ditempat yang berbeda.

Malaikat selalu pergi setelah mengerjakan tugasnya.


Dilihat jatuh bangkitnya
Diberi senyum tangisnya
Oktober berlalu, Hujan tak rintik lagi
Oktober berlalu,
Ku tlah menemukanmu
Disudut cahaya yang baru
Cinta semusim pun kan layu.

Tidak ada komentar: