source: kawaiibeautyjapan.com |
Suasana
diseluruh penjuru Rochis –read: Rocher High School- kala pagi memang
menenangkan. Bagaimana tidak, sekolah menengah atas dengan fasilitas sarana
yang lengkap itu didukung lingkungan yang hijau disetiap sudutnya. Sekolahku
ini memang sedang menggiatkan kegiatan bertema Green School, apalagi beberapa
bulan lagi ada sebuah award dari sebuah Perusahaan Swasta Internasional tentang
sekolah berbasis lingkungan.
Sengaja kulangkahkan kakiku
pelan-pelan saat menuju kelas, sembari menghisap aroma bunga yang baru diguyur
hujan semalam. Tetiba kurasakan seseorang menepuk bahuku. Kemudian tangan itu
mencengkram bahuku, menjaga agar aku tak langsung pergi. Langkahku terhenti,
lalu bulu di pundakku meremang ketika telingaku dibisiki sesuatu.
“Rok kamu,
ritsletingnya masih kebuka.”
Seketika
pipiku memanas, mungkin sekarang rona kemerahan sudah terbias dikulit yang
masih lembab itu. Aku masih berdiri mematung, kemudian wajahku di tatap oleh
seseorang yang kuduga ia adalah orang yang menepuku tadi.
Ia bertanya, “Lo malu?”
Damn...
Aku
mendorong pelan tubuhnya kesamping kanan. Lalu tanpa pamit -setelah melorotkan
sedikit jaket yang kupakai- segera ku berlari menuju kelas. Sungguh, sebenarnya
aku ingin bersikap biasa saja.
Sesial-sialnya,
selama ini aku selalu berharap bagian dari tubuhku tak pernah ada yang
melihatnya, namun tadi dengan mudahnya, dan sudahlah!
Entah kenapa harus hari ini, disaat aku tak memakai boxer. Dan betapa aku
sangat ingat apa yang kupakai hari ini, segitiga ajaib bermotif hati
dimana-mana.
Walaupun
disekolahku ada petugas kebersihan, entah kenapa Para Guru tetap ngotot agar
menanamkan rasa gotong royong lewat piket kelas. Namun nyatanya, dibanding
harus berdepresi ria dan berkeringat
ria, mereka lebih memilih membayar denda meskipun sekali piket itu dendanya Rp.
50.000,- Benar-benar! Seperti saat ini,
seharusnya ada 4 orang yang ikut membantuku membersihkan kelas. Nyatanya, hanya
ada Riani si Ketua kelas yang super bawel itu ditemani Ahmad, pacarnya. Dan
mereka seperti memiliki dunia ini. Padahal tepat 100 meter dari mereka aku
tengah diam-diam mentap mereka.
Setelah menyapu, Segera kuangkat keset yang berat itu dan
kubaringkan di atas tembok. Sembari meluapkan kesal, ku pukul-pukul keset itu
dengan ganas memakai sapu. Namun, tanpa diduga, keset yang kupukul terdorong
begitu kuat. Melihat apa yang akan terjadi, kucoba raih bagian terakhir dari
keset itu. Tapi terlambat. Hal yang paling aku khawatirkan adalah jika keset
itu jatuh menindih orang. Dan, mungkin Tuhan masih ingin melihatku tertawa
sendiri nanti malam.
Terdengar
teriakkan seseorang. Ku terka-terka apakah ia perempuan atau laki-laki. Namun,
suaranya agak nyaring. Aku mengintip namun betapa kagetnya hatiku begitu tahu
siapa yang menatapku kini.
“Eh sini
lo.”
Aku masih bersembunyi, sementara Riani mulai memaksaku untuk
segera menemui orang dibawah.
Aku tak pernah mengerti bagaimana cara orang dipertemukan
lalu bagaimana mereka bisa sampai akrab. Aku tak mengerti, bagiku yang selalu
menutup diri, untuk bisa berteman dengan orang populer disekolah. Aku tak
mengerti, Tuhan akan buat cerita apa untukku?
“Lo mesti
nemenin gue besok.”
“O-oke.”
Maka jika kalian percaya perpisahan adalah awal suatu
cerita. Maka kini sudah seharusnya kalian melepas kalimat itu dari otak kalian. Karena pertemuanku adalah sebaliknya. Ini adalah awal. Dia adalah
awal bagiku menjadi segalanya.
Aku membaca
nama di bukunya pelan,
“Ke-Ke-Kenal.
Kenal?”
“Bukan
kenal, tapi Kemal.”
“Ajarin gue
Kimia!”
“Kan lo IPS,
buat apa belajar kimia?”
“Suka-suka.”
Kemudian entah kapan Kemal meninggalkanku sendiri disini bersama buku Kimia sewaktu dia kelas 10. Tanpa permisi aku membuka lembaran demi lembaran buku tulisnya dan disana terselip beberapa kertas ulangan Kimia sewaktu
kelas 10. Aku tertohok, melihat banyak nilai sempurna yang ia dapatkan.
Bakal gue
tanyain ke Fasha ah, bener-engganya.
***
“Fasha, lo
kemal kenal?” tanyaku dengan lafal yang salah.
“Apaan?”
Aku menepuk
dahiku pelan, “Maksud gue, kenal kemal?”
“Oh, iya.
Kenapa?”
“Dia dulu sekelas sama lo kan? Gimana
di kelasnya?”
“Supel juga pinter loh.”
***
Ketidakpercayaanku pada Kemal pun sirna, sejalan ketika ia yang justru sering memarahiku tentang dasar kimia. Lama-kelamaan aku mulai mengenal dia, sosok sempurna dimata orang yang rupanya banyak memiliki ketakutan-ketakutan kecil yang menggelikan. Seperti takut dengan kecoa terbang ataupun cicak buntung. Tanpa kusadari pun aku mulai sering memperhatikan dirinya, dan kebiasaan kecilnya. Seperti saat ini, saat dia berpikir, pasti pensil atau pulpen di genggamanya akan ia ketukkan pada dahinya.
Kemudian aku merasakan keanehan pada wajahnya.
“Mal, wajah lo pucat gitu. Makan dulu gih!"
Kemudian aku merasakan keanehan pada wajahnya.
“Mal, wajah lo pucat gitu. Makan dulu gih!"
“Gue
baik-baik aja ko! Eh, nanti gue paling langsung keruang KIR ya, soalnya mau
ngerjain sesuatu."
“Oke deh.”
***
Ah begitu
melelahkannya hari ini. Bekerja kelompok dan tertawa bersama dengan teman-teman
perempuan. Kemal benar, aku harus memulainya sebelum terlambat. Dan sebagai
rasa terima kasihku selama ini, sepulangnya aku langsung menuju sekolah lagi walaupun
hujan telah turun beberapa menit yang lalu dan aku hanya berharap ia masih ada
di ruangan KIR. Tapi setelah kutunggu sampai jam setengah 6 sore, aku akhirnya
memutuskan pulang. Bodohnya, sesampainya dirumah, harusnya aku tahu hari itu
tidak ada kegiatan Ekskul KIR. Hatiku menjadi tak enak, juga jantungku yang
terlalu sering cepat berdetak. Aku gelisah. Entah karena apa.
Entah perasaanku saja atau tidak, selama aku kenal dia, kadar
kesialanku berkurang.
Mengapa aku
tidak bertemu dengannya dari dulu. Ada orang yang begitu perhatian dan mengerti
hatiku. Entahlah sahabat, teman, atau teman tapi mesra? Dia yang mengajariku
untuk tidak menarik diri dari pergaulan. Bahkan mengajarkan bagaimana cara berdandan.
Aku tau dan
sadar dalam sebuah pertemanan dengan lawan jenis selalu ada perasaan. Tapi aku
lega,
“Kemal,
bantuin gue ngerjain ini..”
“Ga mau,
pasti lo pengennya gue buatin. Bukannya kerjain sendiri.”
“Yaudah ah,
lo bukan lagi temen gue.”
“Bagus deh,
karena gue gamau jadi temen lo.” sahutnya dengan tersenyum lebar.
Aku
menatapnya aneh, “Ih jahaat!”
Sebagai
langkah menghilangkan sifat introfetku, aku juga mulai membuka jejaring
sosial. Memang asalnya aku sudah punya facebook, tapi belum mengenal jejsos
bericon burung itu. Dan, lagi lagi Kemal yang menyuruhku untuk membuat akun
twitter. Tak masalah sebenarnya. Mungkin karena newbie, aku hanya memfollow
Kemal. Ah, Kemal Ditiya, sore tadi..
Menunggu
waktu, tweetnya dia. Dia jarang ngetweet sampai aku komentari pun dia jarang membalas.
***
Panas.
Musim pancaroba telah tiba. Baru saja tadi aku keluar kehujanan karena membeli bahan memasak, eh, sekarang suhunya sudah naik lagi. Sekarang aku tengah membaca buku resep makanannya lagi karena rencananya besok aku dan Kemal akan memasak bersama.
Setelah mencoba masakannya tempo dulu, aku yakin dia akan berhasil
mengaajarkanku masakan ini. Tapi, sejak tadi pagi, aku tak melihatnya dimanapun.
"Fasha, Kemal
masuk sekolah ga?"
"Dia ga
sekolah."
Kini sudah 1 minggu lebih, aku penasaran. Aku, teman dikelasnya, dan sekolah pun tak tau kemana Kemal. Hingga 1 minggu kemudian,
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, teman
kita Kemal Ditiya telah pulang ke rahmatullah.
Iya, aku telah tau itu sejak
pukul 5. Dan setelah tau aku segera ke rumah sakit dimana ia dirawat.
“Tante
kenapa ga ngasih tau pihak sekolah sih kalau Kemal ga masuk itu karena sakit.
Apa tante mau saat Kemal sembuh dia dikeluarin dari sekolah?”
“Untuk apa?
Kemal sudah tak ada sekarang!”
“Tante..
kumohon tabah. Maksudku, setidaknya semua siswa bisa mengirimkan do’a demi
kesembuhannya. Kumohon tante jangan ulangi lagi. Tante tau, do’a itu penggerak
terbesar sebuah usaha.”
Kemudian aku keluar dari keramaian ruang Kemal menuju kursi dekat loket administrasi. Dalam diam aku menyadari, bahwa kini aku mengerti maksud tweetnya.
Kurasa itu bukan untukku. Itu penggambaran dirinya, bahwa ia tengah menunggu mautnya. Aku menyadari 1 hal, yaitu 'hal yang paling sakit adalah kau mengetahui ia mencintaimu saat ia sudah tak ada daripada kau mengetahui ia tak mencintaimu saat ia ada'.
Aku meremas
surat itu. Surat yang kudapatkan dari Resi, teman sebangkuku, berisi tiket kursi menonton dari Kemal, dan disana ia bertanya,
“Will you be
a part of my heart? If yes, take this. I’ll be waiting for you”
Tanggalnya sama ketika tweet itu di posting. Sama ketika aku pulang sore kehujanan mengerjakan tugas kelompok. Sama ketika aku menunggunya juga, namun, ditempat yang berbeda.
Malaikat selalu pergi setelah mengerjakan tugasnya.
Dilihat
jatuh bangkitnya
Diberi
senyum tangisnya
Oktober
berlalu, Hujan tak rintik lagi
Oktober
berlalu,
Ku tlah
menemukanmu
Disudut
cahaya yang baru
Cinta
semusim pun kan layu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar